Para seniman di seluruh dunia telah terlibat dalam perjuangan global untuk Palestina melalui berbagai cara, menggunakan seni sebagai sarana ekspresi, advokasi, dan solidaritas. Seni sering digunakan untuk menyampaikan pesan politik dan sosial yang kuat.
Tentang Seni dan Perjuangan di Palestina?
Seniman dari berbagai disiplin ilmu menggunakan platform mereka untuk membawa perhatian dan dukungan kepada perjuangan Palestina. Melalui seni, mereka mengekspresikan solidaritas, menantang narasi dominan, dan mencoba mempengaruhi opini publik serta kebijakan pada skala global. Seni, dengan kekuatan emosional dan ekspresifnya, terus menjadi alat penting dalam advokasi politik dan sosial.
Edward Said (1986) dalam After the Last Sky: Palestinian Lives, menganalisis secara esensial mengenai bagaimana seniman Palestina dan penulis menggambarkan identitas dan perlawanan dalam karya mereka.
Nurit Peled-Elhanan (2012) meneliti bagaimana Palestina digambarkan dalam buku teks sekolah di Israel, menawarkan wawasan tentang narasi yang dibentuk sejak dini dan bagaimana seni dan pendidikan berperan dalam konflik, yang dipublikasikan dalam Palestine in Israeli School Books: Ideology and Propaganda in Education.
Tahun 2015, Mark LeVine menghasilkan karya berjudul Artists and the Arab Uprisings, meskipun fokus utama buku ini adalah Arab Spring, terdapat banyak referensi tentang bagaimana seniman di Timur Tengah, termasuk Palestina, menggunakan seni mereka untuk menantang status quo politik.
Kemudian Hanan Wakeem (2020) menjelajahi bagaimana seniman Palestina dan internasional menggunakan pertunjukan, seni visual, dan musik sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel; dalam Performing Palestine: Resisting the Occupation through Culture and Art. Terakhir, Sophia Azeb (2023) menulis dan menerbitkan The Culture of Resistance: Arts of Resistance in Palestine; studi kontemporer tentang bagaimana seni dan budaya digunakan sebagai alat perlawanan dalam konteks Palestina, mengkaji berbagai bentuk ekspresi artistik.
Selain itu, masih ada karya-karya lainnya seperti: “The Culture of Resistance: Arts of the Arab World Uprising” oleh Kaelen Wilson-Goldie; buku ini menyelidiki bagaimana seniman di Timur Tengah, termasuk Palestina, menggunakan seni mereka sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan politik. Meskipun fokusnya tidak hanya terbatas pada Palestina, buku ini memberikan konteks yang luas tentang bagaimana seni digunakan sebagai sarana perjuangan dan ekspresi politik.
“Palestine Ltd.: Neoliberalism and Nationalism in the Occupied Territory” oleh Toufic Haddad; buku ini menawarkan perspektif tentang dampak neoliberalisme pada perjuangan nasional Palestina, termasuk peran seni dan media dalam mengartikulasikan identitas dan perlawanan.
Haddad menggali bagaimana ekonomi dan politik berpengaruh terhadap produksi seni dan narasi nasional. “Performing Palestine: Resisting the Occupation through Culture and Art”; kumpulan artikel ini memaparkan berbagai cara seniman Palestina dan pendukung internasional mereka menggunakan teater, musik, film, dan seni visual sebagai bentuk perlawanan. Artikel-artikel ini menawarkan wawasan yang berharga tentang bagaimana seni menjadi bagian dari strategi perlawanan yang lebih besar.
“Political Art and Resistance in Palestine” oleh Sophia Brown; buku ini menyelidiki karya seniman kontemporer Palestina dan diaspora yang menggunakan seni mereka untuk menantang representasi politik dan narasi seputar konflik Israel-Palestina. Brown mengeksplorasi karya seni dalam konteks luas perjuangan politik dan sosial.
“Art and Politics: A Small History of Art for Social Change Since 1945” oleh Claudia Mesch; meskipun buku ini tidak eksklusif membahas tentang Palestina, ia memberikan konteks historis yang penting tentang bagaimana seni telah digunakan secara global sebagai alat untuk perubahan sosial dan politik. Bagian-bagian yang relevan dapat membantu memahami kerangka kerja di mana seniman untuk Palestina beroperasi.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>