Prof Ikrar Bhakti Nusa adalah Peneliti Ilmu Politik LIPI, lahir di Jakarta 27 Oktober 1957, lulus Fisip UI pada tahun 1982. Beberapa kontribusi tulisannya telah diterbitkan, antara lain termuat dalam buku-buku Tentara yang Gelisah, Tentara Mendamba Mitra, Bila ABRI Berbisnis, dan Politik Kekerasan Orde Baru, serta di jurnal-jurnal ilmiah lainnya.
Ia pernah menulis artikel “Menagih Janji Sukamandi,” yang isinya menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan meningkatkan kesejahteraan peneliti di Indonesia, namun tak kunjung ditepati.
Peneliti yang seharusnya menjadi tonggak peradaban justru dianaktirikan di Indonesia. Ditengah tertinggalnya dunia penelitian di Indonesia, Prof. Ikrar justru mempertanyakan keterlibatan mahasiswa Indonesia yang menyumbangkan makalah untuk dosennya baik itu seminar internasional maupun yang dijadikan jurnal internasional.
Pertanyaan itu muncul ketika Dr. Terry Mart dosen Fmipa UI membandingkan jumlah makalah di jurnal internasional antara Indonesia dan Malaysia yang bak bumi dan langit pada diskusi yang digelar di kampus UI, beberapa waktu lalu.
Berikut wawancara Ahmad Fauzan, KabarKampus dengan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti, mengenai profesi peneliti di Indonesia.
Mengapa Anda justru menganggap Malasysia banyak menggunakan peneliti Indonesia?
Tak ada satu perusahaan, pembuat pesawat di dunia ini yang tidak ada orang Indonesianya. Artinya setiap pembuatan pesawat seperti Boing dan Airbus di dunia ada orang Indonesianya. Di sana menunjukkan betapa orang Indonesia itu pintar.
Anda lihat sekarang bagaimana Petronas dan kemudian Malaysia mengambil anak-anak Indonesia untuk sekolah di sana. Anak-anak lulusan Indonesia tidak sedikit yang diiming-imingi, kemudian diberikan beasiswa. Dan masa depan yang cemerlang untuk bekerja di Malaysia, termasuk Singapura.
Malaysia pernah membuat pesawat tanpa awak, dan mereka bilang pesawat itu hasil karya anak bangsa, siapa bilang hasil karya anak bangsa, yang bikin juga orang Indonesia.
Mengapa peneliti Indonesia justru bekerja di luar negeri?
Pemerintah Indonesia berbeda jauh dengan Malaysia. Gaji profesor di Malasyia itu 40-50 juta per-bulan, sedangkan gaji profesor riset seperti saya hanya 5,2 juta rupiah per-bulan. Di Indonesia anggaran untuk ilmu pengetahuan, teknologi atau riset itu sangat kecil. Kalau tidak salah sekitar 500 milyar rupiah pertahun. Anggaran itu untuk beberapa lembaga penelitian seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan sebagainya. Baik untuk gaji, upah, dan biaya penelitian.
Pemerintahan SBY tidak punya visi dan ketertarikan terhadap riset, anggaran riset dan teknologi pemerintahan SBY adalah yang terkecil dibandingkan dengan Sukarno, Suharto, Megawati, Gusdur, apalagi Habbibi. Jadi jangan heran kajian kajian kita sangat kecil.
Bagaimana Anda bertahan dengan gaji tersebut?
Gaji seorang profesor riset sepeti saya ini cuma 5,2 juta, tapi saya bisa berkreasi, bahkan bisa hidup, di atas batas kelayakan. Saya bisa jalan-jalan ke luar negeri, dan bisa macam-macam. Peneliti harus memiliki jaringan, kalau dalam bahasa ilmiahnnnya itu epistemik komuniti. Saya alumni UI kemudian bekerja di LIPI saya harus menjaga hubungan dengan para pengamat politk yang ada di UNAIR, di UGM, ataupun di Riau, supaya kita punya hubungan baik dan hubungan baik itu menjadi salah satu pendorong untuk maju dan bisa bekerjasama.
Dan buat saya seorang peneliti itu tidak bisa hidup dengan penghasilan yang mereka terima sebagai peneliti. Di Indonesia ini memang peneliti sangat tidak dihargai. Makanya jarang orang yang mau jadi peneliti, baik itu peneliti biologi, ataupun kemudian kimia fisika ataupun metrologi, terkait dengan nuklir, juga ilmu sosial.
Tapi saya sebagai peneliti bisa membuktikan, dengan karya penelitian, atau dengan kualitas penelitian yang dijaga seorang peneliti bisa hidup jauh dari batas kelayakan.
Bagaimana minat anak muda Indonesia untuk jadi peneliti di LIPI?
Memang sangat sendikit, saya beri contoh calon peneliti di tempat kami kalau kami interview, mereka mau jadi peneliti atau tidak, sebagian besar jawabannya adalah menjadi peneliti itu merupakan pilihan yang kesekian. Mereka lebih ingin menjadi birokrat dan diplomat, itulah kondisinya.
Namun ketika mereka sudah masuk LIPI dan melihat suasana kolegalitas, apalagi mereka bisa lebih maju, bisa mengambil S2, doktoral, bahkan bisa mengambil post doktoral, maka penelitian itu kemudian menjadi pekerjaan yang mengasyikkan.
Bagaimana Anda memandang profesi seorang peneliti?
Menurut saya penelitian itu hal yang sangat mengasikkan, peneliti bukanlah orang-orang yang hidup dan tinggal di menara gading atau orang yang hidup di laboratorium saja, namun ia bisa membangun dunia melalui karya pembangunannya itu. Peneliti dapat menjadi tersohor karena mendapatkan nobel, juga karena karya serta analisisnya bisa dinikmati oleh masyarakat.
Namun peneliti juga dapat menjadi orang yang sangat dihina karena karyanya itu dianggap dekat dengan kekuasaan, karena peneliti salah satu hobinya mengkritik kekuasaaan, itu sering terjadi, dan saya sendiri sering dimaki orang.
Menjadi seorang peneliti seharusnya bagaimana?
Bahwa sejauh ini peneliti itu harus melakukan pekerjaanya dengan serius dan penuh keharti-hatian tidak pernah berbohong, penelitian yang jujur adalah sesatu yang terhormat. Di LIPI ada satu pomeo bahwa peneliti itu bisa saja salah namun tidak boleh berbohong.
Perhatian pemerintah sangat minim di bidang penelitian, bagaimana hubungan penelitian dan kebijakan pemerintah?
Buat saya tidak ada negara maju di dunia ini bisa maju tanpa adanya penelitian, itu keburukan Indonesia. Membuat suatu kebijakan atas dasar riset, mereka pikir riset itu buang buang waktu dan buang buang biaya padahal, kebijakan yang dibuat atas dasar riset justru akan bisa menghindari kesalahan di dalam pembuatan keputusan atau implementasi.[]