Ahmad Fauzan

JAKARTA, KabarKampus – Rentetan kasus represif aparat terhadap masyarakat di Indonesia telah menuai banyak korban jiwa. Belum selesai persoalan tewasnya masyarakat Mesuji karena menuntut hak atas tanah warga yang diduga dilakukan aparat kepolisian. Kekerasan kembali terjadi di Bima, sedikitnya 2 aktivis tewas dan puluhan warga luka-luka. Tindakan sewenang-wenang polisi tersebut menuai protes dan kecaman dari berbagai pihak termasuk mahasiswa.
Presidium Front Aksi Mahasiswa (FAM) Universitas Al Azhar Indonesia Wenry Anshory mengecam apa yang dilakukan oleh polisi selama ini, terutama pernyataan Humas Mabes Polri yang menyatakan bahwa, alasan mereka melakukan tidakan tegas terhadap masyarakat Bima adalah prosedur tetap (protap).
“Pertanyaan kami adalah apakah yang dinamakan protap bila harus melakukan penembakan terhadap warga,” kata Wenry.
Wenry mengungkapkan, aparat kepolisian di lapangan hanya menjadi centeng pengusaha, mereka melakukan seperti itu mungkin karena pendapatan mereka yang kurang. Namun Itu tidak bisa menjadi alasan, karena senjata yang digunakan untuk menembak masyarakat berasal dari uang rakyat.
“Ini merupakan dampak dari pasca reformasi yang kebablasan, sudah seharusnya Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri untuk meredam ego mereka,” kata Wenry saat ditemui di Jakarta, Minggu, (25/12).
Para aktivis mahasiswa telah melakukan koordinasi dengan organisasi mahasiswa yang berada di Jakarta maupun di Bima untuk melakukan aksi bersama.
“Kami berencana menggeruduk Mabes Polri dan Istana Negara. Ini adalah akumulasi dari kemarahan kami, bahwa rakyat di Bima telah ditembak secara membabi buta,” tegas Wenry.
Wendiri dan para aktivis akan melakukan aksi solidaritas sampai akumulasi itu membesar. Mereka akan melakukan tindakan yang lebih besar lagi, yaitu melakukan swiping terhadap anggota polisi juga pengerusakan terhadap pos polisi.
Ia menegaskan bahwa hal ini adalah warning bagi rezim SBY, karena tidak mampu memberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya sendiri.
“Yang bermasalah itu adalah kepemimpinana nasional, yakni kepemimpinan SBY-Budiono,” uangkap Wendry.
Wendy menuntut tidak hanya Kapolda NTB yang harus mundur, namun SBY – Budiono harus mundur, karena melepas tanggung jawab terhadap apa yang terjadi di Bima.[]






