Ahmad Fauzan Sazli
Florence Sihombing, mahasiswa S2 Kenotariatan UGM akhirnya ditahan polisi pada Sabtu, (30/08/2014). Ia ditahan karena pihak kepolisian menganggap Florence tidak kooperatif, dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi tindak pidana, dan menghilangkan barang bukti.
Erasmus, dari Institute For Criminal Justice Reform menganggap penahanan pihak Polda DIY tidak beralasan. Pasalnya dalam KUHP pasal 21 mengatakan seseorang bisa ditahan bila ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran orang itu melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya.
“Masalahnya Florence ini sudah beretikat baik minta maaf, dia juga sudah datang ke polisi. Florence juga latar belakangnya jelas, dia mahasiswa UGM, dia sudah mengkonfirmasi. Orang tahu orangnya siapa dan siapa dia. Florence bisa diakses,” kata Erasmus kepada KabarKampus, Senin, (01/09/2014).
Oleh karena itu, Erasmus mempertanyakan kekhawatiran polisi yang mengatakan dia bisa lari dan menghilangkan alat bukti. Artinya penahanan Florence ini tidak memenuhi KUHP.
“Dalam UU ITE Pasal 43 ayat 6 disebutkan, kalau polisi melakukan penahan dia harus terlebih dahulu minta ketetapan Ketua Pengadilan Negeri (KPN). Masalahnya kalau penetapan itu diberikan, artinya KPN tidak meriksa dengan seksama dan hanya jadi lembaga cap saja. Karena dia harus periksa layak atau tidak orang ditahan,” ungkap Erasmus.
Erasmus menerangkan, terkait keketapa KPN tersebut, mereka curiga memang tidak ada. Polisi memang tidak menginginkan ketetapan itu sesuai UU ITE. Oleh karena itu ICJT merasa dalam proses penahanan Florence Sihombing, polisi telah menyalahi prosedur.
“Masalah Florence ini berhubungan dengan reformasi kepolisian. Karena ini merupakan ketidakprofesionalan kepolisian,” terang Erasmus.
Kasus Florence sendiri berawal dari kata-kata makiannya di media sosial. Ia kemudian dilaporkan oleh sejumlah komunitas dan LSM karena pernyataanya di sosial media yang dinilai menghina masyarakat Yogyakarta.[]