
YOGYAKARTA, KabarKampus – Setelah 15 tahun menjalankan Pilkada langsung, akhirnya anggota DPR RI mengesah RUU Pilkada. Pemilihan Kepala Daerah kini tidak lagi secara langsung, melainkan dipilih oleh anggota DPRD.
Dr. Arie Sudjito, Sosiolog UGM, mengatakan, dengan disahkannya RUU Pilkada, para politisi senayan tidak memikirkan dampak yang akan ditimbulkan pilkada oleh DPRD yang begitu besar, pertama membatasi akses rakyat berpartisipasi dan mengontrol kekuasaan karena pilkada akan diwarnai transaksional kekuasaan antara politisi di parlemen dengan kandidat tanpa bisa diawasi rakyat.
“Cara pemilihan lewat DPRD ini akan menyuburkan praktik korupsi. Dampaknya DPRD dan kepala daerah tidak menutup kemungkinan memanfaatkan APBD untuk ajang berburu rente,” ujarnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, imbuhnya, makin tertutupnya akses masyarakat mendapatkan hak dipilih menjadi pemimpin daerah melalui mekanisme calon independen, soalnya kekuasaan kemungkinan makin eksklusif sebagai kawasan otoritas parpol.
“Pilkada oleh DPRD melanggengkan patronase politik, demokrasi disandera oligarki parpol dan parlemen, sehingga membentuk kubu-kubu pemburu kuasa,” katanya.
Sementara itu Dr. Mada Sukmajati Pengamat Politik dari Jurusan Politik dan Pemerintah (JPP) UGM, menilai pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya tidak melanggar demokrasi dan bersifat konstitusional. Namun yang menjadi persoalanannya terletak dari sisi proses pengambilan kebijakan, karena tidak ada perdebatan substansial di parlemen dan di masyrakat mengenai dikembalikannya pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
“Secara konstitusi tidak ada yang dilanggar, tapi dari sisi proses sampai UU Pilkada ini disahkan sangat problematik dan hanya bersifat prosedural. Dibahas intensif 2 bulan ini pasca pilpres,” katanya.
Mada sependapat bahwa dikembalikannya pilkada lewat DPRD adalah sebuah bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia. Bahkan menjadi kemunduran dari desentralisasi otonomi daerah. “Satu poin penting, diberlakukannya otonomi daerah itu terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal. Sehingga hal ini menjadi sangat problematik,” katanya
Mada bahkan secara tegas mengatakan revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau,” terangnya.






