BANDUNG, KabarKampus – Setelah mendapat ancaman oleh Front Pembela Islam (FPI) akhirnya kegiatan Sekolah Marx yang digelar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati, Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) dibatalkan. Pihak Kampus ISBI menggantikan materi Sekolah Marx tersebut dengan memasukkan materi Sekolah Marx dalam mata kuliah Estetika Seni.
Sebenarnya para mahasiswa tetap ingin melanjutkan Sekolah Marx yang memang telah memasuki sesi terakhir dengan tema “Penciptaan Teater Berdasarkan Pemikiran Karl Marx”. Namun karena mendapat tekanan dari FPI, Benny Yohannes sebagai pembicara dan juga sebagai Warek Bidang Akademik dan Kemahasiswaan memutuskan untuk membatalkan kegiatan tersebut.
Benny Yohannes atau yang akrab disapa Benjon ini mengatakan, alasannya membatalkan Sekolah Marx tersebut, karena tidak ingin terdapat korban dari kalangan mahasiswa. Karena menurutnya, berdebat dengan organisasi massa yang memiliki perangai yang sifatnya anarkis adalah percuma dan tidak ada untungnya.
“Konfrontasi fisik, saya kira tidak akan memberikan pencitraan positif bagi tradisi akademik. Kami akan terjebak pada anarkisme mereka,” kata Benjon kepada KabarKampus, Rabu, (18/05/2016).
Sebagai gantinya, Benjon menuturkan, materi Sekolah Marx akan diintegerasikan sebagai bagian dari kegiatan kuliah. Karena materinya spesifik untuk pengembangan wawasan estetika seni.
“Jadi saya memiliih pola yang proporsional, sesuai dengan tujuan awal dari kegiatan UKM ini, yaitu pengembagan wawasan lewat edukasi akademik. Masuknya menjadi salah satu topik kuliah yang saya pegang yaitu estetika seni, mata kuliah semester empat dan lima,” terang Benjon di kampus ISBI.
Sementara itu Muhammad Chandra Irfan, Pemimpin Umum LPM Daujati ISBI selaku penyelenggara Sekolah Marx mengaku kecewa dengan keputusan Benjon. Hal itu karena mereka tetap ingin menyelenggarakan Sekolah Marx tersebut. Apalagi Sekolah Marx ini mendapat dukungan dari berbagai kelompok masyarakat dan BEM se-Bandung Raya.
“Sebenarnya kami ingin menyelamatkan kegiatan itu dengan tetep ada materi secara utuh. Namun mungkin lembaga kampus punya cara sendiri untuk bersikap,” ungkap Chandra.
Chandra menuturkan, sebagai bentuk sikap mereka terhadap intimidasi Sekolah Marx, mereka mengganti Sekolah Marx tersebut dengan acara yang lebih masif dan bisa mengakomodir banyak orang. Acara tersebut yaitu “Panggung Seni Untuk Demokrasi”. Acara ini mengundang mahasiswa dari berbagai kampus untuk menyuarakan demokrasi yang selama ini diberangus.
“Dengan pengertian kami juga tetap bertahan, menyuarakan aspirasi kami. Bahwa kami tidak diam,” ungkap Chandra.[]