ENCEP SUKONTRA
BANDUNG, KabarKampus – Hasil riset kebencanaan seringkali hanya beredar di lingkungan akademik atau lembaga penelitian. Seharusnya hasil riset menjadi pengetahuan pengurangan resiko bencana di masyarakat maupun menjadi dasar kebijakan pemerintah.
Implementasi dari hasil riset di tataran pembuat kebijakan maupun di masyarakat masih menjadi kendala dalam upaya pengurangan resiko bencana. Hal ini diakui para ahli yang tergabung dalam Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI).
Maka sebagai salah satu upaya membumikan hasil-hasil riset, IABI akan menggelar Pekan Ilmiah Tahunan ke-3 di Institut Teknologi Bandung (ITB), Senin dan Selasa (23-24/05/2016).
Pekan ilmiah ini akan diikuti puluhan pakar kebencanaan dari IABI, akademisi dari berbagai kampus di Indonesia, tokoh masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) se-Indonesia, perwakilan pemerintah.
Ketua Panitia Pekan Ilmiah Tahunan ke-3, Harkunti Rahayu mengatakan, pekan ilmiah ini merupakan kolaborasi berbagai instansi dan masyarakat yang mulai tercetus sejak pekan ilmiah pertama di Surabaya pada 2014 atau tahun dibentuknya IABI.
“Kita mulai berpikir riset tak sebatas di perguruan tinggi saja. Maka kita membentuk IABI,” ungkap Harkunti Rahayu yang juga Wakil Ketua 1 IABI, dalam jumpa pers di ITB, Kamis (19/05/2016).
Ia mengungkapkan, salah satu ganjalan hasil riset tidak sampai ke masyarakat atau pemerintah adalah karena bahasa yang dipakai dalam menyusun makalah riset adalah bahasa “dewa.” Bahasa dewa artinya bahasa ilmiah yang tidak populer.
Maka untuk mempopulerkan pekan ilmiah tahun ini, tema yang dipilih menggunakan bahasa Sunda: Hayu Sasarengan Diajar Pengurangan Resiko Bencana (PRB) di Bandung (Mari Belajar Bersama PRB di Bandung).
“Bagaiman meningkatkan gerakan pengurangan resiko bencana menurut saya dengan tema itu pas. Kita mencoba keluar dari menara gading penelitian dan akademik,” katanya.
Masalah implementasi memang kendala besar dalam upaya membumikan hasil riset. Contohnya pihaknya pernah bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah untuk merekomendasikan hasil riset ke dalam rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Namun rekomendasi tersebut belum tentu diakomodir dalam program pembangunan pemerintah daerah.
Dalam membuat kebijakan, Pemda terpaku pada rencana pembangunan lima tahunan sesuai dengan masa jabatan. “Tantangan IABI adalah bagaimana sinergi dengan Pemda. Problemnya di ranah praktis, bagaimana sains atau penelitian diadopsi menjadi kebijakan,” ungkap Harkunti Rahayu.
IABI melakukan riset kebencanaan di berbagai tempat di Indonesia. Contohnya pada 2015, tim IABI melakukan mitigasi bencana terkait gempa bumi dan tsunami di Padang. Namun bagaimana hasil riset tersebut menjadi kebijakan, harus diteliti kembali.
Ketua Pokja Tsunami IABI, Hamzah Latief menambahkan perjalanan penelitian kebencanaan di Indonesia sangat gencar sejak 12 tahun terakhir. Penelitian misalnya dilakukan para ahli geofisika dan geologi. “Dengan adanya IABI kita melakukan kanalisasi penelitian-penelitian agar bisa di-share,” kata Hamzah Latief.
Ia mengakui, masih banyak hasil riset yang belum sampai ke masyarakat. Ia juga berharap banyak pada media massa agar tidak hanya hadir pada saat bencana saja, tetapi meliput acara pertemuan-pertemua ilmiah terkait kebencanaan. Sehingga terjadi transfer ilmu dari pakar ke wartawan, dari wartawan ke masyarakat.
Di sisi lain pertumbuhan penelitian di Indonesia juga cukup pesat. Ia mencatat, saat ini mulai banyak peneliti-peneliti muda yang meninjau bencana dari berbagai aspek, mulai aspek geologi, sosial dan lainnya. Penelitian kebencanaan juga tidak lagi didominasi kampus-kampus besar, tetapi mulai banyak kampus-kampus lain yang mulai meneliti kebencanaan.
“Universitas di Jember, Semarang dan hingga Ambon mulai melakukan penelitian. Artinya bencana memang layak jadi objek untuk diteliti,” katanya.
Sementara Pekan Ilmiah Tahunan ke-3 terdiri dari diskusi dan pameran produk-produk penelitian. Acara ini digelar di beberapa titik, antara lain Taman Cinta ITB dan Campus Center Timur ITB. []