More

    Saatnya Mengelola Kelistrikan Secara Gotong Royong!

    LK sebagai Distributed Generation dalam sistim pembangkitan terpusat. Gambar : STT PLN
    LK sebagai Distributed Generation dalam sistim pembangkitan terpusat. Gambar : STT PLN

    JAKARTA, KabarKampus – Pemerintah telah menetapkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 Mega Watt (MW) hingga tahun 2019 mendatang. Namun banyak polemik terkait pembangunan listrik tersebut. Sejumlah pihak beranggapan pembangkit listrik 35.000 Mega Watt dianggap tidak realistis mengingat melihat kemampuan finansial, angka pertumbuhan ekonomi, serta nilai tukar rupiah yang terus anjlok.

    Namun ditengah polemik tersebut satu hal memprihatinkan  yang luput dari perhatian yaitu kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menjadi pemilik bisnis kelistrikan (Independent Power Producer). Karena saat ini kepemilikan dan para pelaku IPP masih  didominasi oleh para  investor  dan pengusaha raksasa baik dari luar maupun dalam negeri.

    Inisiatif Independent Power Producer berbasis kerakyatan datang dari Kampus STT PLN. Kampus yang berada di Jakarta Barat ini mendapat kesempatan untuk menjadi pelaku dan memiliki sebagian porsi dari IPP tersebut. Model yang mereka tawarkan disebut dengan Listrik kerakyatan (LK). Model ini tidak hanya menjadi solusi tenaga listrik dari tenaga fosil yang makin menipis, namun juga sebagai energi alternatif terbarukan  yang tersedia gratis di kampus maupun di pemukiman .

    - Advertisement -

    Listrik Kerakyatan merupakan suatu model penyediaan dan pengembangan energi listrik yang terdiri dari bauran pembangkit sederhana skala kecil dari energi bersih yang tersedia di sekitar komunitas  sehingga dapat dibangun sendiri dilakukan secara bergotong-royong oleh berbagai kelompok masyarakat di tingkat kelurahan di seluruh tanah air.

    Listrik Kerakyatan ini didasari oleh pemikiran bahwa  membangun 1 unit pembangkit sebesar 1000 MW sama hasilnya dengan membangun  1000 unit pembangkit kecil sebesar 1 MW. Bedanya untuk pembangkit skala 1000 MW memerlukan modal  sangat besar dan untuk menyelesaikannya memerlukan waktu sekitar 5 tahun sedangkan untuk membangun pembangkit kecil 1 MW tidak memerlukan modal yang besar dan bisa diselesaikan kurang dari satu tahun.

    Memang  sistim ini baru berarti kalau dibangun  secara masal di sebanyak mungkin lokasi , namun justru hal ini membuka peluang untuk sebanyak mungkin pengusaha kecil dan menengah termasuk koperasi pedesaan, instalatir listrik, dan usaha kecil lainnya. Dengan modal sekitar Rp.500 juta, masyarakat  sudah bisa membangun pembangkit tenaga surya berukuran 20 kW.

    Tiga inisiator Listrik Kerakyatan tersebut yaitu Djoko Paryoto (Wakil Ketua STT-PLN), Sonny Djatnika Sundadjaya, dan Santoso Janu Warsono. Inisiatif Listrik kerakyatan dari mereka muncul salah satunya sebagai jawaban terhadap berbagai permasalahan pada sistim kelistrikan konvensional terpusat dengan pembangkitan besar di hulu, yang memerlukan lahan yang luas serta memerlukan jaringan transmisi tegangan tinggi/ekstra tinggi.

    Hal  tersebut  bisa dilakukan  dengan mengadopsi konsep distributed generation atau pembangkitan skala kecil tersebar yang semaksimal mungkin memanfaatkan energi terbarukan.  Model ini secara teknis cukup sederhana dan bisa dikelola oleh penduduk setempat dan juga  ramah lingkungan karena menggunakan energi terbarukan. Listrik kerakyatan bisa dibangun di sekitar perumahan atau komunitas masyarakat termasuk pasar, sekolah, kantor, mal, dan hotel yang dekat dengan jaringan distribusi PLN sehingga sangat menguntungkan bagi PLN karena tidak memerlukan jaringan transmisi tegangan tinggi yang mahal dan sarat dengan permasalahan .

    Selain itu, selama ini pengelolaan listrik dilakukan oleh pemerintah melalui badan usaha milik negara atau oleh perusahaan listrik swasta melalui skema IPP sehingga rakyat hanya menjadi konsumen dan sepenuhnya tergantung kepada perusahaan listrik. Sebagai konsekuensinya, masyarakat tidak bisa berbuat banyak apabila kuantitas dan kualitas pelayanan listrik yang mereka peroleh tidak memuaskan.

    Hal ini akan menjadi masalah besar untuk suatu negara berkembang yang memiliki keterbatasan kemampuan baik finansial maupun manusianya untuk membangun infrastruktur ketenagalistrikan seperti Indonesia. Walaupun sudah banyak proyek dan program listrik raksasa yang dicanangkan semenjak lebih dari 60 tahun merdeka, kenyataannya rakyat sebagai konsumen hanya bisa memprotes dan menghujat apabila terjadi pemadaman listrik.

    Selain itu, masih ada jutaan masyarakat yang belum menikmati listrik. Melalui konsep dan model pembangkit sederhana, gagasan LK ini mencoba membantu masyarakat untuk mengatasi sendiri permasalahan pelayanan termasuk pengembangan kelistrikan di tempat mereka.

    STT PLN  sendiri saat ini telah melakukan uji coba listrik kerakyatan LK1 di kampus Duri Kosambi dan bekerjasama dengan kelurahan Pondok Kopi, di LK2 Pondok Kopi untuk PLTSa dan PLTS, serta PLT Biomasa Kaliandra yang saat buku ini ditulis sedang dipamerkan di dusun Munggur, Desa Wonosari, Kecamatan Karang Anyar, Solo, dalam acara deklarasi Dewan Ekonomi Rakyat pada tanggal 18 Mei 2016.

    Dengan adanya model IPP kerakyatan yang berbasis budaya gotong royong ini, maka keuntungan dari bisnis listrik tidak hanya dinikmati oleh pengusaha besar tapi juga bisa dirasakan oleh masyarakat umum. Dari sisi keandalan, listrik rakyat juga bisa menjadi solusi awal untuk menahan laju defisit di daerah krisis listrik, dan juga bisa menjadi penyangga seandainya program 35.000 MW terlambat. Selain itu listrik kerakyatan juga bisa menghemat cadangan BBM serta mengurangi efek pemanasan global.[]

    Besambung*

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here