IMAN HERDIANA
Informasi tentang kesehatan sangat beragam dewasa ini. Contohnya tentang pengobatan kanker yang bisa dilakukan dengan mengkonsumsi herbal berbahan alami. Tetapi benarkah herbal bisa dipakai untuk terapi atau mengobati kanker?
Konsultan spesialis bedah onkologi Dr. Yusuf Heriady, dr., Sp.B (K) Onk mengatakan, di bidang pengobatan atau terapi kanker dikenal ada lima model terapi, yaitu operasi pengangkatan sel kanker, kemoterapi, terapi hormon, radioterapi, terapi target (targeted therapy).
“Di luar itu bukan terapi kanker, seperti herbal dan lain-lain itu bukan terapi, hanya suplemen saja,” jelas Yusuf Heriady, kepada KabarKampus, baru-baru ini.
Dosen pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung (Unisba) yang juga bertugas di RSUD Al Ihsan itu mengungkapkan, lima terapi tersebut sebelumnya sudah melalui penelitian ilmiah dan uji coba yang panjang.
Sedangkan herbal dan sejenisnya, belum melewati proses penelitian ilmiah. Itu sebabnya disebut alternatif atau sebagai suplemen.
“Contoh buah merah, dulu waktu keluar heboh, lalu hilang lagi, karena tidak ada buktinya. Lalu mahkota dewa, tinggal diteliti, tapi di kita tidak ada penelitiannya,” katanya.
Contoh lain, daun sirsak, manggis, dan masih banyak lagi yang dipercaya sebagai obat kanker. Beberapa ada yang melalui penelitian tahap satu di labolatorium, tetapi sudah langsung dijual bebas. “Padahal itu tidak boleh,” tandasnya.
Ia menjelaskan, pada dasarnya semua obat medis yang masuk ke Indonesia bersumber dari impor. Meski demikian, semua bahan obat tersebut berasal dari alam. Ia kemudian memaparkan proses penelitian suatu obat dari bahan alami hingga menjadi obat.
Suatu bahan alami harus diteliti dahulu komposisi kimianya. Untuk menjadi obat, perlu proses panjang dan biaya tidak sedikit. “Perlu puluhan tahun dan dananya mencapai miliaran mungkin triliun rupiah. Dan kita belum ada yang meneliti dari satu bahan alami sampai jadi obat,” terangnya.
Penelitian suatu obat melibatkan pusat-pusat riset di berbagai negara yang ada di tiap benua. Contohnya, suatu obat diteliti di pusat penelitian Universitas Indonesia, Universitas Padjdjaran, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya.
Hal serupa juga diteliti di pusat penelitian yang ada di negara Asia lainnya, kemudian di benua lain seperti di Australia, Eropa dan Amerika. “Semua meneliti sampai dilihat bersama hasilnya, baru dinyatakan bisa dipakai atau tidak. Itulah yang namanya penelitian obat ilmiah,” terangnya.
Penelitian tersebut meliputi serangkaian uji joba pada hewan dan manusia. Uji coba ini biasanya terdiri dari beberapa tahapan. Setelah serangkaian uji coba, baru dipasarkan. Saat proses pemasaran juga masih dipantau ketat, lalu dibandingkan efeknya dengan obat yang sudah ada sebelumnya.
“Itu bisa puluhan tahun. Tidak sederhana,” tandasnya. []