IMAN HERDIANA
BANDUNG, KabarKampus – Para antropolog yang tergabung dalam Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhinneka dan Inklusif, prihatin dengan kondisi maraknya praktek intoleran yang menggerus kebhinnekaan (keanekaragaman) Indonesia.
Ada sekira 300 antropolog maupun alumnus ilmu antropologi yang tergabung dalam gerakan ini. Mereka menyerukan pernyataan sikap dukungan bagi kebhinnekaan Indonesia. Pernyataan sikap dilakukan di berbagai daerah di Indonesia secara serentak, yakni di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Pekanbaru, Menado, dan daerah lainnya.
Berikut adalah pernyataan sikap Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhinneka dan Inklusif:
- Menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan sikap, penyerangan dan pembungkaman terhadap kelompok agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, dan sudut pandang yang berbeda;
- Menolak segala bentuk manipulasi yang mempertentangkan antar golongan, menajamkan perbedaan, dan bahkan menganjurkan ekslusivitas;
- Menolak segala sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan, yakni nilai-nilai yang dibingkai dalam Pancasila dan dijamin Konstitusi.
Gerakan ini juga menyerukan:
- Menyerukkan kepada pemerintah agar terus melindungi keindonesiaan dengan menindak tegas sesuai hukum siapa pun yang menggunakan kekerasan dalam menggerus nilai keberagaman kita. Secara khusus diserukan kepada Panglima TNI dan Kapolri agar merangkul seluruh rakyat dalam menjalankan tugas dan meletakkan kepentingan negara dan bangsa yang beragam di atas kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Penegakan hukum harus dilakukan hanya demi Tanah Air dan atas nama Tuhan—tidak semata-mata selektif dan/atau karena tekanan massa;
- Menyuarakan kepada segenap organisasi keagamaan, tokoh agama, lembaga non-pemerintah/LSM, organisasi kemasyarakatan, dan pemerhati kebudayaan agar menjaga ketenangan dan ketentraman masyarakat serta proaktif ikut merawat kebinekaan, persatuan, dan kesatuan bangsa;
- Menyerukan kepada elit sosial dan politik, baik formal maupun informal, agar menghentikan segala bentuk manifulasi primordial demi kepentingan politik dan kekuasaan sesaat;
- Menyerukan pada para pemimpin lembaga pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, agar memperkuat pengawasan internal dan menyikapi doktrinasi sektarian secara tegas. Lebih luas, semua pemangku kepentingan di sektor pendidikan perlu mempertimbangkan kembali penggunaan materi pelajaran yang menajamkan perbedaan dan mempromosikan cara hidup ekslusif;
- Menyerukan kepada warga masyarakat agar berpikir kritis, menjauhi fundamentalisme kebenaran dan mempelajari dengan seksama setiap persoalan bangsa. Kemampuan berpikir kritis adalah benteng agar kita tidak mudah diombang-ambingkan berbagai pihak yang menyebarkan intoleransi dan kebencian yang membahayakan kebinekaan dan keindonesiaan;
- Menyerukan pada para pewarta agar menjalankan peran profesionalnya dengan mengedepankan keutuhan bangsa, nilai-nilai Pancasila, serta bersikap bijaksana dan cerdas untuk tidak menajamkan konflik horizontal dan tidak memberi ruang bagi politik identitas.
- Menyerukan kepada segenap anak bangsa agar menjadikan media sosial sebagai ajang untuk memperluas ruang kehidupan, bukan justru menyempitkannya dengan menyebarluaskan kabar dan dan pendapat yang menyudutkan warga, kelompok, atau golongan lain;
- Menyerukan kepada segenap warga negara agar terus meningkatkan upaya merawat kebinekaan secara demokratis, menyalurkan aspirasi dengan cara-cara menyejukkan, serta tidak memaksakan tata cara kehidupan yang spesifik di ranah publik;
Akhirnya, kami, antropolog yang tergabung dalam “Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhinneka dan Inklusif”, mengingatkan bahwa Indonesia kita tidak terjadi dengan sendirinya. Indonesia dibangun dengan kesadaran penuh oleh para perintis bangsa. Kita wajib menjaga dan merawatnya untuk diwariskan pada generasi yang akan datang. Darurat keindonesia memanggil kita semua untuk tidak lagi abai pada tanggung jawab bersama ini.
Bandung, 16 Desember 2016. []