IMAN HERDIANA
BANDUNG, KabarKampus – Penolakan pembangunan mall di bekas lahan eks Palaguna, Alun-alun Bandung, muncul dari generasi muda (milenial) Bandung. Pembangunan sarana komersil seperti mal dinilai sudah ketinggalan zaman di era bisnis digital (e-commerce) ini.
“Kita punya brand mau dijual di mana, tidak mungkin dijual di mall, pasti dijual ke market-market yang sesuai. Dan mall itu bukan jawaban,” kata Ajie Santika, pegiat Startup Bandung kepada KabarKampus.
Ajie Santika yang juga pengusaha digital Tingkers Game ditemui usai diskusi “Jorowok Alun-alun” di BCCF–Simpul Space #3, Bandung, Jumat (03/02/2017). Startup Bandung merupakan wadah bersama bagi komunitas-komunitasa startup di Bandung. Kegiatan mereka terutama menjalankan bisnis online atau e-commerce.
Ia mengatakan, zaman ini jika kota ingin membangun ekonomi, yang diutamakan bukanlah pembangunan sarana komersial seperti mal. Negara-negara maju justru sudah meninggalkan konsep mal.
Mereka sekarang bergeser ke pembangunan ruang-ruang publik bagi kebutuhan warganya. “Di negara maju mall itu ditinggalkan, kita mulai shifting, dan publik space itu penting,” tandasnya.
Ruang publik di negara maju bisa berupa ruang-ruang terbuka hijau (RTH), penataan sungai sebagai RTH, taman-taman, dan lain-lain. Lahan eks Palaguna sendiri menjadi perlintasan Sungai Cikapundung yang bisa dimanfaatkan sebagai daya tarik dari ruang publik. Bisa juga lahan bekas Palaguna dijadikan perpustakaan umum.
Intinya, kata Ajie Santika, ruang publik yang dibangun di suatu kota harus memiliki manfaat besar bagi manusia-manusia di dalamnya.
“Kita yang mungkin mewakili generasi milenial, fokus kebutuhan sebuah kota terkait ke manusianya. Kita harus melihat manfaat paling besar bagi masyarakat,” ungkapnya.
Kota-kota di negara maju yang sudah meninggalkan konsep pembangunan mal atau gedung tinggi antara lain San Francisco di AS, Bangalore di India, dan Kota Shenzen di Cina. Kota-kota yang terkenal karena perkembangan IT tersebut meninggalkan pembangunan fisik komersial yang tak lagi relevan dengan iklim bisnis dunia yang mengarah ke e-commerce.
Bisnis di era digital tidak memerlukan gedung-gedung besar yang wah, bisnis ini bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Pelakunya bisa siapa saja, terutama anak muda melek teknologi yang kreatif. Tidak mungkin bisnis e-commerce dipusatkan dalam satu bangunan mall.
Pembangunan eks Palaguna sebagai ruang publik akan memiliki nilai tambah bagi warga Bandung. Nilai tambah ini berbeda dengan dengan mall yang hanya bersifat monumental tetapi tidak memiliki keberlangsungan (sustainable). Sebab, bangunan megah yang besar membutuhkan biaya perawatan besar pula.
Pada masa depan bangunan-bangunan besar kayak mal justru dikhawatirkan tak terawat sebagaimana nasib Palaguna kini yang di masa jayanya dulu menjadi tempat gaul anak-anak muda Bandung.
“Jadi Bandung ini semakin banyak anak muda yang menciptakan sesuatu, itu harusnyaa punya nilai jual yang bisa disampaikan dengan baik ke daerah lain di Indonesia. Mereka menggunakan internet, e-commerce, karena justru peluangnya di sana,” katanya. []