BANDUNG, KabarKampus – Ada kaitan erat antara THR dan kehormatan (integritas) seorang jurnalis yang bekerja melayani kepentingan publik. Jurnalis berhak mendapat THR dari perusahaan tempatnya bekerja.
Masalah THR itu diungkap dalam diskusi bertajuk “THR Pekerja Media” di Kaka Cafe, Jalan Sultan Tirtayasa No 49 Bandung, Senin (12/6/2017). Narasumber diskusi yakni Ketua Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nursyawal.
Dalam diskusi yang kebanyakan dihadiri mahasiswa itu, Nursyawal menyatakan, jurnalis tidak boleh menerima “THR” dari luar perusahaan tempatnya bekerja, baik pemerintah maupun swasta. Hal ini pun terkait dengan integritas jurnalis.
Ia menuturkan, AJI yang memiliki perwakilan di 34 kota di Indonesia selama ini konsisten menyerukan perusahaan media untuk memberikan THR kepada pekerja media yang di dalamnya ada jurnalis.
Sebaliknya, AJI konsisten menyuarakan agar lembaga pemerintah maupun swasta tidak memberikan “THR”, bingkisan, sumbangan, jatah—apa pun istilahnya—kepada wartawan.
Masalah tersebut, kata Nursyawal, diatur dalam Kode Etik Jurnalis (KEJ). Dalam kode etik yang disepakati 29 organisasi wartawan di Indonesia itu disebutkan, (Pasal 6) jurnalis tidak menerima suap atau imbalan dari narasumber. Jika wartawan menerima pemberian dari suatu perusahaan, maka hal ini sudah termasuk menerima suap. Sedangkan perusahaan yang memberikan disebut pemberi suap.
Dosen STIKOM Bandung itu juga mengulas istilah “THR” yang dikemas dengan beragam sebutan seperti bantuan, sumbangan, dan jatah. Di balik istilah-istilah tersebut, ia menilai ada makna yang merendahkan profesi jurnalis.
Misalnya istilah bantuan atau sumbangan, dalam kata lain berarti sedekah. Menurutnya, penerima sedekah memiliki ukuran yang jelas, yaitu kaum duafa atau fakir miskin. Sedangkan wartawan jelas bukan kaum duafa atau fakir miskin.
Kenapa jurnalis tidak boleh menerima “THR” dari luar perusahaan tempatnya bekerja? Nursyawal menegaskan, karena jurnalis harus membuat berita yang objektif. Jika jurnalis menerima “THR” dari luar perusahaan tempatnya bekerja, maka objektivitas menulis beritanya akan terganggu.
“Supaya beritanya objektif, agar wartawan memiliki kebebasan peliputan,” tandasnya. Dengan kebebasan itu wartawan akan membuat berita yang terbaik untuk diberikan kepada publik, yang tidak dipengaruhi “THR”.
Ia pun mengingatkan, jurnalis harus loyal pada warga negara, bukan kepada pemberi “THR”. Jurnalis harus membela kepentingan warga negara sekaligus memantau kekuasaan.[]