Oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketika masih duduk di sekolah dasar dulu, saya selalu menerima penjelasan dari bapak/ibu guru bahwa Indonesia adalah negara yang sangat indah, alamnya kaya raya,terbentang bagaikan zamrud khatulistiwa.
Penduduknya ramah-tamah, rukun, jujur, senang bergotong- royong, tetapi juga gagah berani melawan penjajah. Dengan senjata bambu runcing para pemuda mampu mengalahkan Belanda. Persepsi itu masih tertanam di benak saya, tetapi secara bertahap mulai terkoreksi. Ini terjadi bisa saja karena materi pengajaran dulu yang salah atau kondisi Indonesia sudah berubah.
Setelah belajar sejarah, ternyata kekalahan Jepang di hadapan sekutu memiliki andil besar bagi peluang kemerdekaan Indonesia tanpa memperkecil peran para pemuda yang gagah berani melawan Belanda dengan senjata bambu runcing. Dan yang sangat menyedihkan adalah persepsi dan keyakinan puluhan tahun yang mengatakan bahwa kepulauan Indonesia itu sangat indah dan kaya, bagaikan zamrud khatulistiwa.
Kini yang terjadi tengah berlangsung penggundulan dan perusakan hutan. Kandungan tambang di perut bumi pun diburu dan dikeruk dengan rakusnya sehingga merusak lingkungan hidup, baik alam maupun lingkungan sosialnya. Yang paling mencolok mata tentu saja di Situbondo yang populer dengan sebutan “Lumpur Lapindo”. Belum lagi yang jauh di tengah hutan atau di lepas pantai.
Jadi, ketika di SD dulu memperoleh penjelasan bahwa Nusantara ini jadi sasaran penjarahan oleh VOC, rasanya situasi hari ini tidak jauh berubah. Kalau dahulu yang dijarah sebatas rempah-rempah, sekarang berkembang menjadi kandungan minyak bumi, emas, nikel, hutan, kelapa sawit, dan entah apa lagi. Lagi-lagi, yang menjarah adalah kekuatan asing mirip zaman VOC dulu.
Jika dahulu ada istilah komprador, yaitu pribumi yang bersekongkol dengan penjajah asing, sekarang jumlahnya juga semakin banyak. Bahkan sekarang penjarahan semakin canggih, tidak hanya hutan jati dan pohon besar yang dijarah dan ditebangi, tetapi “pohon-pohon besar” berupa lembaga keuangan dan pusat-pusat industri juga dikangkangi kekuatan asing.
Apa dan Siapa Indonesia?
Jawaban dari pertanyaan ini pasti akan bervariasi, tergantung kepada siapa pertanyaan dikemukakan. Seorang teman pebisnis pernah sangat tersinggung ketika mendengar pandangan orang asing bahwa Indonesia lahan bisnis yang menggiurkan. Semua urusan, termasuk perizinan mudah diatur asalkan ada uang pelicinnya. Tanpa uang pelicin semua urusan akan lamban dan sulit di Indonesia.
Dengan uang semua urusan jadi lancar. Persepsi yang demikian tentu sangat menyakitkan,tetapi kebenarannya sulit ditolak mengingat kita semua mudah melihat dan mungkin punya pengalaman, misalnya ketika mengurus SIM atau KTP mesti dikenai uang pelicin.
Persepsi lain yang mulai berkembang adalah Indonesia merupakan negara “pilkada”. Hitung saja, berapa ratus jumlah pemilihan kepala daerah yang berlangsung setiap tahunnya.
Hanya saja disayangkan, eksperimentasi dan praktik demokrasi ini tidak disertai penegakan hukum yang tegas dan jujur, tidak juga dibarengi dengan pendidikan politik bagi rakyat. Akibatnya, setiap ada peristiwa pilkada muncul money politic yang merusak mental rakyat dan kepala daerah yang dihasilkan juga tidak bagus. Maka logis jika sudah puluhan, bahkan di atas angka 100, mantan gubernur, bupati, wali kota, dan anggota DPR yang berurusan dengan KPK dan jadi penghuni tahanan.
Persepsi lain yang mengemuka, Indonesia termasuk tiga besar setelah India dan China yang senang mengunduh (download) foto dan gambar porno lewat internet. Hobi pornografi ini seiring dengan membengkaknya pengedar dan pengguna narkoba. Indonesia tidak saja sebagai pemakai, tetapi sudah masuk kategori produsen narkoba di kawasan Asia. Persepsi lainnya, Indonesia juga dikenal sebagai eksportir batu bara, minyak mentah, dan TKI dengan keahlian rendah.Yang terakhir ini membuat wajah Indonesia tercoreng.
Ketika bertemu teman dari Timur Tengah atau Malaysia, ketika pembicaraan masuk ke ranah TKI, saya sering tersipu malu. Apa yang dikemukakan di atas, fakta ataukah persepsi? Apa pun jawabannya, semua itu menutupi kehebatan dan kekayaan alam dan budaya Indonesia yang tak tertandingi. Rasanya nation branding kita lemah yang kemudian mengemuka dalam persepsi masyarakat dalam dan luar negeri jadi negatif.Persepsi ini sangat penting. Bukankah para politikus itu sibuk membangun opini dan persepsi bahwa dirinya hebat? Namun, persepsi pada akhirnya akan diperkuat atau terkoreksi oleh kenyataan.[]
Sumber : http://www.uinjkt.ac.id/