Furqan AMC
“Umat Islam sering diperlakukan seperti orang yang mendorong mobil mogok, ketika mobilnya jalan, umat Islamnya ditinggal, mobilnya sendiri melaju entah kemana. Jadi umat Islam itu hanya dijadikan vote getter saja,”
Begitulah nasib umat Islam di Indonesia menurut Irwan Natsir, Jurnalis Senior Pikiran Rakyat dalam sebuah diskusi publik bertema “Arah Politik Umat Islam 2018 dan 2019”, yang diselenggarakan oleh SIMAK Institute di Ciputat, Tanggerang, Banten, Sabtu (20/01/2018).
Irwan Natsir mengajak audiens untuk melihat Jawa Barat sebagai studi kasus, ketika Partai Islam berkuasa, kebijakan-kebijakan yang diterapkan Gubernur tidak mencerminkan aspirasi umat Islam.
“Dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Jawa Barat, tidak ada bau-bau Islamnya,” terang Irwan Natsir yang selama beberapa tahun terakhir bertindak sebagai reviewer RKPD Jawa Barat.
“Bahkan yang terjadi ketimpangan ekonomi makin besar di Jawa Barat, angka kemiskinan dan pengangguran makin tinggi. Jadi, ketika tokoh Islam berkuasa yang ada hanyalah semakin memperkuat kelompoknya saja, bukan memperkuat umat Islam,” tambahnya menegaskan. Gejala serupa bisa dilihat juga di provinsi lainnya seperti di Sumatera Barat.
Kenyataan ini diperparah lagi dengan tidak sedikitnya kader dari partai-partai Islam yang dipenjara gara-gara korupsi di berbagai daerah bahkan nasional.
Hampir Tidak Ada Bedanya Partai Islam & Partai Nasionalis
Senada dengan Irwan, Peneliti CSIS Arya Fernandes juga tidak melihat perbedaan yang signifikan antara platform maupun program-program yang diusung oleh partai Islam dan partai nasionalis. Hal ini membuat partai-partai Islam tidak berhasil positioning dengan maksimal di hadapan pemilih.
Menurutnya, kondisi ini diperparah dengan konflik yang melanda partai-partai Islam. Gagalnya pengkaderan internal di tubuh partai-partai Islam juga berpengaruh. Adapun mantan aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi mahasiswa Islam juga tidak banyak yang kemudian berminat menyalurkan aspirasi politiknya dengan berkarir dalam partai-partai Islam. Di sisi lain, partai-partai nasionalis juga berusaha membentuk organisasi sayap bercirikan Islam.
Arya mengungkapkan, dalam penelitian CSIS baru-baru ini yang “Menguji pengaruh agama terhadap pemilih”, ternyata didapat kesimpulan bahwa, keshalehan personal dan religious contex tidak menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pemilih.
Bahkan demografi pemilih cenderung termoderasi, lebih-lebih ketika koalisi yang dibangun juga acak antara partai Islam dan partai nasionalis. Ketika terjadi migrasi pemilihpun cuma 75% pemilih partai Islam yang konsisten tetap memilih partai Islam jika berganti pilihan partai. Sedangkan 90% pemilih nasionalis tetap memilih partai nasionalis jika berganti pilihan partai.
Selanjutnya Arya Fernandes menjelaskan bahwa gerakan 212 juga tidak akan berpengaruh signifikan baik pada partai Islam maupun kandidiat pada pilkada 2018. Gerakan tersebut telah gagal bertransformasi secara politik, baik membentuk partai (tidak realistis) maupun dalam kontestasi kandidat di setiap partai. Alumni 212 pun terpecah dan penerimaan massa terhadap alumni 212 juga lemah.
Sedangkan Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center, menilai efek gerakan 212 akan terasa di Pilpres, apalagi jika pemerintahan Jokowi gagal mengelola isyu dengan baik. Namun Pangi tidak setuju jika ulama (umat) dihadap-hadapkan terus dengan pemerintah.
“Politik pembelahan tersebut sangat berbahaya dan justru akan merugikan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan,” ungkapnya.
Pangi menambahkan, sepanjang pemilu nasional, Partai Islam tidak pernah jadi pemenang. Yang terbaik cuma Masyumi ketika meraih posisi kedua pada pemilu 1955.
“Jika ingin maju, partai-partai Islam harus mengedepankan platform, program, gagasan dan ide ketimbang identitas yang simbolik,” pungkasnya.[]