Apa yang kamu pikirkan bila mendengar istilah dosen “killer”? Mungkin saja kamu berpikir untuk bermalas-malasan kuliah dan mengerjakan tugas semaunya.
Hal tersebut dilakukan, karena kamu merasa apapun yang bakal dilakukan, nantinya akan mendapatkan nilai jelak C atau D di kelas. Hasilnya kamu benar-benar mendapat nilai jelek. Padahal kamu tidak harus mendapatkan nilai jelek, asalkan kamu bisa merubah paradigma berpikir.
Pengalaman ini dirasakan oleh Wie Tjung Sudarma, Human Capital & General Services Division Head PT Astra Internasional Tbk. Pria yang sudah lebih dari 20 tahun mengurusi rekruitmen pegawai di Astra ini memiliki pengalaman menghadapi dosen killer ketika ia masih berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Wie Tjung bercerita, dosen killer di kampusnya hanya memberikan nilai B pada tiga mahasiswa dari mahasiswa satu angkatan yang jumlahnya seratusan. Nilai A tidak ada dan nilai C hanya kepada 20 sampai 30 mahasiswa. Sisanya D dan E.
“Waktu itu saya masuk angkatan 85. Namun mahasiswa angkatan 1980 masih ada. Mereka mengulang tiga kali ngga lulus-lulus,” cerita Wie Tjung di hadapan mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan dalam acara “Career Advocacy” yang digelar Ilumni FH Unpar di Kampus Unpar, Bandung, Jumat, (23/02/2018).
Namun Wie Tjung mengaku, ia yang berasal dari keluarga yang tidak bagus secara ekonomi memiliki target untuk setiap mata kuliah yang ada. Berapapun nilai yang akan diberikan, ia akan tetap menghadapinya.
Wie Tjung pun tak sekedar pasrah, ia pun mencoba mengelai dosen tersebut. Mulai dari mempelajari tingkah laku, profil, hingga minuman kesukaannya.
“Oh Ibu ini tidak suka kalau bicaranya dipotong, kalau ngomong sama dia harus bungkuk dikit, dia paling suka kalau diberi salam duluan, kesukaan dia adalah minum teh manis. Dia juga suka kalau mengajar ada bunga dan ada taplak meja,” kata Wie Tjung mengenalkan dosennya tersebut.
Selain itu, Wie Tjung juga bersedia menjadi ketua kelas, ketika tidak ada mahasiswa yang mau menjadi ketua kelas. Ia juga mengerjakan semua tugas dan mengerjakan sebanyak mungkin yang ia mampu.
“Itu dilakukan, karena target saya harus lulus. Saya harus dikenal,” ungkap Wie Tjung.
Akhirnya teman-teman Wie Tjung kaget, dari satu angkatan hanya Wie Tjung yang mendapat nilai A.
Dari apa yang Wie Tjung alami, ia merasa sering kali orang dikalahkan oleh pola pikir sebelum berjuang. Bagi Wie Tjung, hal itulah yang menghambat kesuksesan. Seperti seseorang yang ingin wawancara kerja, namun ia takut orang yang mewawancara dirinya adalah orang yang jenius. Ia juga takut, wawancara tersebut menguliti dan bisa membuat malu.
“Padahal malu ngga bikin mati. Kalau Anda ngga siap menghadapi resio buruk kenapa harus khawatir. Jalanin aja,” ungkap Wie Tjung.[]