Dalam laporan pemantauan ini disusun oleh YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, AJI, Lokataru Foundation, Amnesty, dan LBH Pers menemukan adanya pelanggaran HAM dalam penanganan aksi yang berlangsung di kawasan Thamrin, Jakarta 21-22 Mei 2019. Indikasi itu dilakukan terhadap berbagai kalangan yaitu tim medis, jurnalis, penduduk setempat, peserta aksi dan dari berbagai usia.
“Terjadi penyimpangan dari hukum dan prosedur yang ada yaitu diantaranya KUHAP, Konvensi Anti Penyiksaan/CAT, Konvensi Hak Anak/CRC, Perkap 1/2009, Perkap 9/2008, Perkap 16/2006 tentang Penggunaan kekuatan, Perkap 8/2010, Perkap 8/2009,” seperti rilis yang dikeluarkan YLBHI, Minggu, (26/05/2019).
Indikasi Kesalahan Penanganan Demonstrasi
Dalam laporan tersebut menyebutkan, tim pemantau mengaku memahami kompleksnya situasi di atas yang dihadapi oleh petugas kepolisian di lapangan ketika menghadapi aksi massa yang besar disertai adanya sebagian peserta aksi yang melakukan kekerasan. Namun demikian, petugas kepolisian tetap harus menghormati dan melindungi HAM sebagai nilai utama dan kewajiban konstitusional negara.
Menurut mereka, Petugas Polri sendiri terikat pada standar internal HAM, yaitu Peraturan Kapolri (Perkap) No. 16/2006 tentang Pengendalian Massa, Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalamTindakan Kepolisian, dan Perkap No. / 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri; semuanya mengadopsi standar-standar HAM internasional tentang penggunaan kekuataan dan kode perilaku aparat penegak hukum.
Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan kepada aparat keamanan di lapangan untuk dalam kondisi apa pun, prioritas harus tetap diberikan kepa”da pembubaran massa tanpa menggunakan kekuatan, dan jika kekuatan harus digunakan, maka aksi yang dilakukan harus sebanding dengan tingkat perlawanan oleh para demonstran; kekuatan yang mungkin menimbulkan kerugian berat harus ditujukan hanya pada individu-individu yang juga berbuat kekerasan, dan kekuatan dengan efek yang lebih luas hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus kekerasan yang membahayakan orang lainnya, terutama ketika tidak mungkin lagi mengendalikan kekerasan dengan hanya berurusan dengan individu yang terlibat dalam kekerasan.
“Sayangnya dalam pemantauan organisasi-organisasi kami, ada kejadian di mana aparat keamanan juga melakukan penangkapan dan kekerasan yang tidak diperlukan kepada individu peserta aksi, bahkan kepada yang bukan merupakan peserta aksi. Di beberapa tempat, penggunaan gas air mata juga ditujukan kepada kerumunan massa aksi tanpa ada upaya khusus menangkap pelaku kekerasan di dalamnya.”
Selain itu Polri telah menyatakan penggunaan kekuatan terhadap demonstran yang perusuh telah sesuai dengan prosedur dan standar internal Polri. Sesuai peraturan Kepolisian seharusnya anggota kepolisi memiliki kewajiban untuk mengisi Formulir Penggunaan Kekuatan (A): Perlawanan – Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan (B): Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Penutupan Akses tentang Korban oleh Rumah Sakit
Dalam laporan disebutkan, korban dibawa ke beberapa rumah sakit yaitu Pelni, RSCM dan Tarakan. Namun RS Pelni menutup akses sama sekali tentang korban. Sedangkan RSCM memberikan informasi secara terbatas dan tidak mau ada pengecekan lebih lanjutan. Hingga terakhir pemantauan hanya RS Tarakan yang terbuka tentang jumlah korban.
Penanganan Korban yang Tidak Segera
Tim pemantau juga melihat berdasarkan siaran langsung televisi, sempat terlihat adanya korban dalam kondisi tergeletak di jalan dan tidak segera ditangani.
Penyiksaan, Perlakuan Keji, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat
Hasil pantauan memperlihatkan police brutality saat orang yang ditangkap masuk ke Polres. Orang-orang yang diturunkan dari mobil, saat akan dimasukkan ke kantor polisi, dipukuli oleh polisi yang berbanjar. Live streaming televisi pada tanggal 22 dini hari juga menunjukkan adanya massa demonstran yang ditangkap saat mau dimasukkan ke mobil dipukul. Saat itu secara mendadak televisi memindahkan ke jaringan lain
Kemudian saksi-saksi lain mengatakan terjadi penggunaan kekerasan secara berlebihan saat penangkapan. Misal menyeret secara tidak perlu orang yang ditangkap hingga anggota kepolisian memiliki kesempatan untuk memukul.
Hambatan Informasi untuk Keluarga yang Ditahan
Tim Pemantau mendapatkan informasi dan pengaduan dari beberapa keluarga yang menanyakan tidak mengetahui posisi dan nasib anggota keluarga yang ditahan dan dianggap hilang. Tim Pemantau menemukan terjadi ketidakjelasan mengenai penahanan, sesuai dengan Hukum Acara Pidana keluarga berhak segera mendapatkan tembusan dan atau pemberitahuan surat penahanan dari Penyidik.
Salah Tangkap
Dalam laporan ini juga menerangkan, saksi dan korban menunjukkan adanya orang yang ditangkap padahal hanya sedang melihat aksi. Mereka di BAP dan dipaksa menandatangani suatu surat yang mencantumkan pasal yang dituduhkan kepada mereka.
Kekerasan terhadap Tim Medis
Sebanyak tiga anggota medis Dompet Dhuafa juga mengalami luka karena dianiaya polisi. Seorang berinisial Y yang berada di atas mobil sempat disuruh turun oleh aparat.
“Jadi pada saat dia turun, ada yang menarik dari bawah, itu kepolisian. Akhirnya dia terperosok dan kakinya nyelip di ban serep. jadi, jatohnya itu tangan duluan. Pada saat dia jatuh, sebagian polisi melindungi karena memang kita sudah bilang kalau itu tim medis,” jelas Dian Mulyadi selaku Coorporate Communication Dompet Dhuafa.
Selain itu korban lain bernama Ahmad yang berada di mobil tersebut juga mengalami hal yang sama. Ahmad mengalami luka di bagian kepala karena benda tumpul.
“Kepalanya kena pentung. dan ada memar di sekitar sini, pelipis kanan. Sebenarnya dia bilang enggak apa- apa cuma kita saat itu anggap berbahaya, ternyata memang harus CT scan,” katanya.
Sedangkan satu korban lain juga mengalami kekerasan yang sama sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Ketiga korban luka langsung dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto.
Kemudian kendaraan operasional milik Dompet Dhuafa, yaitu mobil Toyota Hilux jenis double cabin yang membawa logistik dan satu mobil Isuzu Pantelher dirusak oknum polisi saat kerusuhan Rabu (22/5/2019).
Kekerasan Terhadap Jurnalis
Tercata ada 20 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa berujung kerusuhan pada 21-22 Mei. Kasus kekerasan tersebut terjadi di beberapa titik kerusuhan di Jakarta, yaitu di kawasan Thamrin, Petamburan, dan Slipi Jaya, Jakarta.
Sampai saat ini AJI Jakarta masih mengumpulkan data dan verifikasi para jurnalis yang menjadi korban. Tak menutup kemungkinan, masih banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban, dan belum melapor.
Pihak kepolisian dan massa aksi diduga menjadi pelaku kekerasan tersebut. Kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja jurnalistik, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga pembakaran motor milik jurnalis.
Mayoritas kasus kekerasan itu terjadi saat para jurnalis meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Bawaslu, di kawasan Thamrin. Beberapa kasus di antaranya, aparat kepolisian melarang jurnalis merekam aksi penangkapan orang-orang yang diduga sebagai provokator massa.
Para jurnalis tetap mengalami kekerasan meskipun mereka sudah menunjukkan identitasnya, seperti kartu pers kepada aparat. Aparat menunjukkan sikap tak menghargai kerja jurnalis yang telah dijamin dan dilindungi oleh UU Pers.
Penghalangan Akses kepada Orang yang Ditangkap
Pada tanggal 23 Mei 2019 Direktur Tahanan dan Barang Bukti Polda Metro Jaya mengatakan semua tahanan di Polda Metro Jaya dilarang untuk dijenguk hingga tanggal 25 Mei 2019. Alasan larangan ini karena status siaga I diberlakukan hingga tanggal 25 Mei 2019.
Bagi tim pemantau, hal ini menyebabkan terlanggarnya hak keluarga untuk berkunjung juga terlanggarnya hak orang yang ditahan terhadap kunjungan advokat, rohaniawan dan tenaga kesehatan. Kemudian seorang advokat pada tanggal 23 dini hari datang ke Polda Metro Jaya untuk menemui korban yang diduga salah tangkap. Seorang polisi yang dipanggil “Dan” (komandan) mengatakan orang yang bersangkutan sedang di BAP dan tidak dapat ditemui.
Polisi-polisi lain di Polda Metro Jaya mengatakan jika seluruh orang yang ditangkap tidak dapat ditemui sampai status siaga I berakhir dan mereka sedang diperiksa oleh berbagai unit.
Pembatasan Komunikasi Media Sosial
Menurut tim pemantau, pemerintah membatasi akses terhadap media sosial, khususnya fitur penyebaran video dan gambar, pascademonstrasi yang berujung dengan bentrokan dan pembakaran sejak Selasa 21 Mei 2019 malam lalu dan berlanjut hingga hari berikutnya. Langkah ini kata mereka tak sesuai Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
Langkah pembatasan oleh pemerintah memang diperbolehkan demi melindungi kepentingan umum tetapi dengan syarat-syarat yang ketat salah satunya melalui undang-undang serta proporsional. Langkah pembatasan ini menutup akses masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu untuk mendapat informasi yang benar bahkan berusaha.
Rekomendasi
Oleh karena itu tim pemantau merekomendasikan, Lembaga oversight kepolisian seperti Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, dan Komisi III dari DPR RI untuk segera mengevaluasi kinerja petugas Polri dalam aksi 21 dan 22 Mei dalam insiden-insiden yang berpotensi merupakan pelanggaran HAM.
Polri untuk mengumumkan kepada publik, baik kepada lembaga-lembaga oversight negara, jurnalis, atau masyarakat umum, secara rinci laporan penggunaan kekuatan yang sudah sesuai prosedur tersebut dengan mempublikasi Formulir Penggunaan Kekuatan (A): Perlawanan – Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan (B): Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap 9 No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Sudah lama, Polri selalu mengklaim menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal tanpa disertai akuntabilitas yang jelas lewat publikasi pelaporan semacam ini.
Penyidik Kepolisian RI harus segara mengirimkan surat tembusan pemberitahuan penahanan kepada masing-masing keluarga yang ditahan. Rumah Sakit harus memberikan informasi publik tentang jumlah orang yang dirawat dan meninggal.
Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman dengan melibatkan masyarakat sipil perlu menyelidiki lebih lanjut tentang insiden ini- menemukan dalang di balik peristiwa guna mencegah keberulangan peristiwa dan impunitas di masa mendatang.
Untuk lebih jelasnya dapat buka link berikut : https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/temuan-awal-pemantauan-bersama-peristiwa-mei-2019/