ILUSTRASI / FOTO : AFP
YOGYAKARTA, KabarKampus – Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta menerima sebanyak 30 aduan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang alumni UII berinisial IM. Pengaduan dari para penyintas tersebut diterima LBH Yogyakarta sejak 17 April 2020 hingga 4 Mei 2020.
Meila Nurul Fajri, Advokat LBH Yogyakarta menceritakan, aduan pertama yang mereka terima dari penyintas yaitu sejak 17 April 2020 kemarin. Karena penyintas pertama tersebut bercerita kepada temannya telah melaporkan kasusnya kepada LBH Yogyakarta, korban lainnya ikut melaporkan kasus serupa dengan pelaku yang sama.
“Akhir april 2020, beberapa teman dari penyintas mulai memberanikan diri untuk bersuara di media sosial. Dari sinilah kemudian satu persatu pengaduan dengan pelaku yang sama berdatangan ke LBH Yogyakarta. Hingga saat ini, 4 Mei 2020, jumlah pengaduan yang kami terima berjumlah 30 orang,” kata Meila dalam konferensi persnya yang dilakukans secara daring, Senin, (04/05/2020).
Menurut Meila, penyintas yang menjadi korban tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM mayoritas adalah juniornya di satu kampus. Mereka juga satu komunitas komunitas ataupun beberapa orang yang menjadi “fans” dari pelaku.
Dari laporan yang diterima LBH Yogyakarta, seorang penyintas ada yang mengaku mengalami kekerasan seksual pada tahun 2016, ada pula yang mengaku terjadi pada tahun 2017, 2018, 2019. Terakhir kali terjadi pada 11 April 2020.
Tindakan yang dialami para korban bermacam-macam. Terduga pelaku awalnya menghubungi korban melalui DM instagram story dengan diawali candaan dan pertanyaan soal kuliah serta obroal soal motivasi dan tips memiliki prestasi seperti terduga pelaku. Kemudian ia melanjutkan obroal tersebut ke beberapa pertanyaan yang dengan nanda sensual. Bahkan menjurus kepada hubungan seksual.
Selain itu juga terduga pelaku, menguhubungi penyintas via telpon dan beberapa dengan panggilan video dan beberapa kali memaksa penyintas untuk mengangkatnya. Obrolan terduga pelaku terhdap korban, mulai dari mendorong korban membuka jilbab, pelaku penunjukkan alat kelaminnya, ada juga kejadian saat penyintas menerima panggilan video, langsung dihadapkan pada keadaan dimana IM sedang menggoyang-goyangkan alat kelaminnya.
Terduga pelaku juga pernah melakukan kekerasan fisik dengan menggesekkan paha ke paha penyintas saat duduk bersebelahan dalam forum, memegang paha penyintas, lalu ada pula kejadian dengan memojokkan badan penyintas ke dinding lalu berusaha menciumnya dengan paksa, dilanjutkan dengan menggesekkan alat kelamin di bagian perut bersentuhan dengan kulit langsung hingga terjadi ejakulasi.
Ada pula yang mengadukan bahwa Ibrahim mencengkeram tangan dan leher bagian belakang penyintas lalu menciumnya dengan paksaan, hingga terjadi pemaksaan hubungan badan (pemerkosaan) hingga terjadinya ejakulasi diluar alat kelamin penyintas.
Dari kronologis yang ada, LBH Yogyakarta, mereka melihat, ada relasi kuasa yang kuat dan timpang dalam kasus ini. Ibrahim dengan menggunakan kepopuleran diri, ditambah dengan kepribadian dan tutur kata yang terlihat baik, berhasil membuat beberapa penyintas tidak berfikiran macam-macam saat mengenalnya.
Sehingga saat mengangkat panggilan telpon atau video, mereka kaget dan seperti tidak tau harus berbuat apa saat Ibrahim malik mulai mempertanyakan hal bernada sensual atau memperlihatkan bagian tubuhnya dan bahkan saat dirinya sedang masturbasi. Mayoritas dari para penyintas juga langsung menghapus text tersebut ataupun riwayat panggilan dari Ibrahim karena merasa bingung dan malu pada diri sendiri.
Selain itu lanjut Meila, dalam tindakan yang sampai mengarah ke fisik, para penyintas mengaku bahwa kejadian terjadi sangat singkat. Ibrahim tiba-tiba memegang pergelangan penyintas dengan sangat kuat, merangkul dengan sangat kuat pula dan membuat penyintas kaget, atau biasa kita sebut dengan kondisi tonic immobility, dimana penyintas kasus kekerasan seksual merasakan kaku disekujur tubuh, lemas dan tidak kuat untuk melawan.
LBH Yogyakarta hingga saat ini mengapresiasi semua penyintas yang sudah berani untuk bercerita dan mengadukan kasusnya kepada kami atau kepada siapapun itu, baik teman terdekat atau langsung kepada institusi pendidikan seperti Universitas Islam Indonesia, almamater dari mayoritas penyintas. Mereka percaya, bahwa tidak mudah bagi para penyintas untuk menceritakan beban yang selama ini mereka rasakan.
“Bahkan dari banyaknya penyintas yang mengadukan kasusnya kepada kami, mayoritas mereka baru menceritakan ceritanya satu kali ini dan itu dilakukan kepada kami,” kata Meila.
Dari banyaknya pengaduan yang diterima LBH Yogyakarta, para penyintas setidaknya mengharapkan hal berikut :
Pertama, IM mengakui seluruh tindakan kekerasan seksualnya kepada publik dengan tidak menyebutkan nama penyintas.
Kedua, Tidak ada lagi institusi, komunitas, organisasi maupun sekelompok orang yang memberikan panggung bagi IM untuk menjadi penceramah, pemateri ataupun segala bentuk glorifikasi, termasuk di dalam Universitas Islam Indonesia.
Ketiga, UII sebagai almamater dari mayoritas penyintas, harus membuat regulasi terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus agar tidak terjadi lagi kasus-kasus yang serupa.
Untuk konteks pendampingan dalam ranah hukum, lanjut Meila, mereka telah mengkaji beberapa kemungkinan pasal yang dapat digunakan dalam pengajuan pelaporan ke kepolisian. Tapi, saat ini setiap kemungkinan pelaporan yang ada pastinya akan kami kembalikan kepada penyintas.
LBH Yogyakarta bukanlah satu-satunya lembaga yang menerima pengaduan atas kasus kekerasan seksual dengan pelaku IM. Ada lembaga resmi seperti LKBH UII dan lembaga internal UII.
“Jadi, kemungkinan jumlah penyintas dari kasus ini bisa saja lebih banyak dari data yang kami sajikan. Dan ada kemungkinan pula masih banyak kasus yang tidak diadukan sama sekali oleh para penyintas,” terang Meila.[]