More

    Peretasan Terhadap Masyarakat Sipil Oleh Negara Marak Terjadi di Dunia Sejak 2010

    JAKARTA, kabarKampus – Pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di dunia maya makin marak terjadi Indonesia. Diantaranya yang baru terjadi adalah peretasan terhadap Pandu Riono, epidemiolog yang lantang mengkritik penanganan pandemi Covid-19. Dia belakangan kerap menyoroti penelitian Unair, dengan BIN dan TNI yang diklaim sebagai obat Covid-19 pertama di dunia.

    Selain itu adalah peretasan tehadap media yang juga banyak menyuarakan kritikan teradap pemerintah terkait kebijakan Covid-19. Media tersebut, dua diantaranya adalah Tempo dan Tirto. Tempo diretas dan tampilannya dirusak pada 21 Agustus 2020 dan Tirto artikelnya diubah oleh peretas pada tanggal 20-21 Agustus 2020.

    Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia menjelaskan, peretasan website atau akun media sosial, karena masalah kontennya, memang marak terjadi di dunia sejak 2010. Amnesty Internasional mengidentifikasi, ada peran negara dalam peretasan terhadap masyarakatnya tersebut. 

    - Advertisement -

    Jika sebelum 2010, lanjutnya, kebanyakan penggunaan alat canggih oleh negara digunakan untuk mengawasi atau mengintai negara lain atau antar negara. Kemudian setelah 2010, penggunaaan alat canggih digunakan untuk mengawasi kelompok masyarakat. 

    Seperti Tiongkok yang mulai menggunakan teknologi canggih untuk mengawasi kelompok swadaya masyarakat yang ada di Tibet. Kemudian sebuah NGO yang mengawasi pedagangan senjata di Bahrain juga menjadi target peretasan oleh peemerintahannya. 

    “Gelombang peretasan juga berkembang di negara di Timur Tengah, ketika terjadi gejolak politik, seperti Mesir, Tunisia, dan Afrika Utara. Pemerintah negara-negara tersebut diyakini telah melakukan peretasan menggunakana alat komersial pengintai,” kata Usman Hamid dalam konferensi pers “Komite Keselamatan Jurnalis Melawan Peretasan”, pada Senin, 24/08/2019 kemarin.

    Menurutnya juga, gelombang peretasan ini sudahi memasuski kawasan di Asia Tenggara. Termasuk Indonesia, Citizen Lab Toronto University, yang melakukan studi serangan digital di dunia maya terhadap organisasi masyarakat sipil mendeteksi keberadaan alat peretasan komersial di Indonesia.

    Perkembangan serangan digital tersebut, kata Usman, ada yang sifatnya intersepsi komunikasi (penyadapan), peretasan seperti yang terjadi pada Tirto, Tempo, dan dr. Pandu serta multi layer atau berlapis-lapis. Serangan multi layer seperti serangan digital yang dilakukan kepada Yayasan Elektronik Fronter. Serangan digital dilakukan oleh kelompok yang berafiliasi dengan pemerintah Vietnam.

    “Jadi bisa saja bukan pemerintah secara langsung yang melakukan serangan, tapi juga kelompok yang berasosiasi dengan pemerntah Vietnam,” terangnya.

    Berangkat dari itu semua, ungkap Usman, apa yang terjadi di Indonesia mencerminkan pola yang sama. Peretasan bisa dilakukan pemerintah lewat lembaga keamanannya. Kedua kelompok di laur pemerintah, tapi memiliki berasosiasi dengan pemerintah. Ketiga bisa saja, memang ini melibatkan kelompok di dalam masyarakat secara kriminal.

    “Baik yang pertama, kedua dan ketiga, sama-sama mensyaratkan, peran negara untuk membongkarnya. Kalau benar ada kelompok yang memiliki asosiasi dengan pemerintiah sekarng, pemerintiah yang berkuasa harus membersihkan namanya dengan melakukan investigasi dan membuka tindakan peretasan itu sampai tuntas,” ungkap Usman.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here