Hakim MK Manahan Sitompul membacakan putusan terkait gugatan terhadap UU No.12 Tahun 12 tentang aturan kebebasan akademik.
JAKARTA, KabarKampus – Mahkamah Agung menolak gugatan Muhammad Anis Zhafran Al Anwary, mahasiswa Universitas Brawijaya terahadap Pasal 9 Ayat 2 UU No.12 Tahun 2012 tentang aturan kebebasan akademik. MK menilai ada ketidakjelasan antara petita dan petitum, sehingga apa yang dimaksud pemohon menjadi kabur.
Menurut Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, dalam tuntutannya pemohon mengatakan, pasal 9 Ayat 2 UU No.12 tahun 2012 hanya memberikan hak kebebasan akademik terbatas kepada profesor dan dosen, tidak kepada mahasiswa. Sehingga membatasi kebebasan mahasiswa menyampaikan pikiran dan pendapat, dan informasi berbasis akademik yang dikuasainya.
Namun, kata hakim, apa yang dimohonkan pemohon tersebut tidak bersesuaian dengan petitum pemohon. Dalam petitum itu, pemohon meminta agar mahasiswa dapat menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya, namun tetap di bawah naungan guru besar, atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah.
“Oleh karena itu dengan sendirinya pemohon menyadari bahwa ada ketidaksetaraaan antara mahasiswa dan profesor atau dosen. Selain itu pemaknaan yang pemohon mohonkan dalam petitumnya menurut mahakamah sudah merupakan praktek yang dilakukan selama ini yang sejalan dengan Pasal 9 Ayat 2 UU No. 12 Tahun 2012,” kata Hakim MK Manahan Sitompul membacakan putusan MK yang disiaran melalui laman Youtube, Selasa, (29/09/2020).
Selain itu, kata Hakim Sitompul, dalam petitumnya juga, permohonan pemohon tidak mencantumkan pasal 9 Ayat 2 UU No.12 Tahun 2012 tersebut bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga gugatan tersebut tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 5 Ayat 1 Huruf D PMK No. 6 Tahun 2005, sebagai pelaksana UU MK.
“Berdasarkan pertimbangan seluruh hukum di atas menurut mahkamah, permohonan pemohon adalah kabur, karena tidak memenuhi syarat verbal,” tegas Hakim Sitompul.
Oleh karena itu, MK berkesimpulan pokok permohonan pemohon kabur dan tidak bisa dipertimbangkan lebih lanjut. MK mengadili, permohonan pemohon tidak dapat diterima.[]
MK Tolak Gugatan Mahasiswa UB Terkait UU Pendidikan Tinggi
JAKARTA, KabarKampus – Mahkamah Agung menolak gugatan Muhammad Anis Zhafran Al Anwary, mahasiswa Universitas Brawijaya terahadap Pasal 9 Ayat 2 UU No.12 Tahun 2012 tentang aturan kebebasan akademik. MK menilai ada ketidakjelasan antara petita dan petitum, sehingga apa yang dimaksud pemohon menjadi kabur.
Menurut Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, dalam tuntutannya pemohon mengatakan, pasal 9 Ayat 2 UU No.12 tahun 2012 hanya memberikan hak kebebasan akademik terbatas kepada profesor dan dosen, tidak kepada mahasiswa. Sehingga membatasi kebebasan mahasiswa menyampaikan pikiran dan pendapat, dan informasi berbasis akademik yang dikuasainya.
Namun, kata hakim, apa yang dimohonkan pemohon tersebut tidak bersesuaian dengan petitum pemohon. Dalam petitum itu, pemohon meminta agar mahasiswa dapat menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab berkenaan dnegan rumpun ilmu dan cabang ilmunya, namun tetap di bawah naungan guru besar, atau dosen yang memiliki otoritas, dan wibawa ilmiah.
“Oleh karena itu dengan sendirinya pemohon menyadari bahwa ada ketidaksetaraaan antara mahasiswa dan profesor atau dosen. Selain itu pemaknaan yang pemohon mohonkan dalam petitumnya menurut mahakamah sudah merupakan praktek yang dilakukan selama ini yang sejalan dengan Pasal 9 Ayat 2 UU No. 12 Tahun 2012,” kata Hakim MK Manahan Sitompul membacakan putusan MK yang disiarak melalui laman Youtube, Selasa, (29/09/2020).
Selain itu, kata Hakim Sitompul, dalam petitumnya juga, permohoananya pemohon tidak mencantumkan pasal 9 Ayat 2 UU No.12 Tahun 2012 tersebut bertentangan dengan UUD 45 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut penting karena dapat merupakan pertimbangan MK apabila ada pertentangan.
Sehingga, gugatan tersebut tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 5 Ayat 1 Huruf D PMK No. 6 Tahun 2005, sebagai pelaksana UU MK. Sehingga menurut MK permohonan petitum tidak jelas atau kabur.
“Berdasarkan pertimbangan seluruh hukum di atas menurut mahkamah, permohonan pemohon adalah kabur, karena tidak memenuhi syarat verbal,” tegas Hakim Sitompul.
Sehingga MK berkesimpulan pokok permohonan pemohon kabur dan tidak bisa dipertimbangkan lebih lanjut. MK mengadili permohonan pemohon tidak dapat diterima.[]