Erin Blakemore (2019) menyatakan bahwa kolonialisme adalah kontrol oleh satu kekuatan atas wilayah atau orang-orang yang dibuat ketergantungan, terjadi ketika satu bangsa menaklukkan populasi yang lain dan mengeksploitasi sambil memaksakan nilai-nilai. Kolonialisme terkait dengan imperialisme, penggunaan kekuasaan dan pengaruh untuk menguasai bangsa atau rakyat lain mendasari kolonialisme. Bhupinder Singh (2021) menyebut kolonialisme sebagai proses di mana kekuatan asing, biasanya kekuatan ekonomi dan militer menduduki wilayah asing, yang disebut koloni, jauh dari perbatasannya dengan tujuan untuk mengeksploitasi sumber daya ekonominya dan mendominasi secara politik, militer dan budaya.
Kolonialisasi terjadi sejak sekitar tahun 1550 SM dan seterusnya, sampai periode dekolonisasi internasional dimulai sekitar tahun 1914 menentang para kolonial di dunia hingga tahun 1975. Kekuatan kolonial membenarkan penaklukan dengan dalih kepemilikan kewajiban hukum dan agama untuk mengambil alih tanah dan budaya masyarakat lain, mengklaim membangun peradaban, dan bertindak demi kepentingan terbaik (Blakemore, 2019). Eropa adalah bangsa penjajah terbesar di dunia dalam sejarah kolonialisme. 11 negeri di dunia yang belum pernah dijajah kekuatan Eropa adalah Bhutan, Thailand, Jepang, Arab Saudi, Iran, Cina, Afganistan, Etiopia, Tonga, Nepal, dan Liberia (Singh, 2021).
Meskipun para kolonial berinvestasi infrastruktur dan perdagangan serta menyebarluaskan pengetahuan medis dan teknologi, mendorong melek huruf, adopsi standar hak asasi manusia, menabur benih lembaga demokrasi dan sistem pemerintahan, meningkatkan gizi dan kesehatan, dan pemukiman sebagai hasil pembangunan. Namun perlawanan merupakan bagian integral dari sejarah kolonialisme, dengan kekerasan dan tanpa kekerasan terhadap para penakluknya. Kolonialisme berdampak pada degradasi lingkungan, penyebaran penyakit, ketidakstabilan ekonomi, persaingan etnis, pelanggaran hak asasi manusia, dan lainnya; berbagai masalah bahkan seringkali bertahan lebih lama dari kekuasaan kolonial itu sendiri (Blakemore, 2019). Joseph McQuade (2017) menegaskan bahwa kolonialisme adalah bencana dan fakta yang ada di dunia membuktikannya, kolonialisme tidak pernah menguntungkan yang dijajah.
Kolonialisasi di Palestina: Kolonialisme Pemukim
Daniel Avelar dan Bianca Ferrari (2018) dengan lugas menuliskan bahwa fondasi Israel berakar pada proyek kolonial yang telah memodernisasi wajahnya tetapi terus menjadikan warga Palestina sebagai pendudukan militer, perampasan tanah, dan hak yang tidak setara. Luka Nakba masih terbuka, Israel melarang lebih dari lima juta pengungsi Palestina yang berhak untuk kembali sambil menjamin kewarganegaraan bagi siapa saja yang dapat menunjukkan keturunan Yahudi.
Mengutip sejarawan Israel Ilan Pappe dalam buku On Palestine (2015) yang ditulis bersama dengan sarjana Amerika Serikat Noam Chomsky, pemindahan paksa warga Palestina merupakan pembersihan etnis. Kisah Palestina dari awal hingga hari ini adalah kisah sederhana tentang kolonialisme dan perampasan, namun dunia memperlakukannya sebagai kisah yang beraneka segi dan kompleks, sulit untuk dipahami dan bahkan lebih sulit untuk dipecahkan. Sedangkan menurut Eitan Bronstein dan Eléonore Merza, pendiri LSM Israel De-Colonizer, orang Yahudi Israel harus mengakui narasi Palestina. Korban utama rezim Israel, tentu saja, orang Palestina, tetapi orang Yahudi Israel juga telah membayar harga penaklukan sejak 1948 dengan hidup dalam ketakutan terus-menerus, tanpa harapan akan perdamaian (Avelar & Ferrari, 2018).
Saumya Uma (2021) seorang pendiri Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC)-India menyatakan bahwa apa yang terjadi adalah sebuah proyek kolonialisme pemukim atau settler colonialism. Israel dan Palestina tidak berada di tengah-tengah “konflik” atau “perang”; sebaliknya, itu adalah implementasi dari proyek kolonialisme pemukim. Ada penindas aktif dan tertindas; penjajah dan terjajah. Kolonialisme pemukim adalah bentuk kolonialisme yang berbeda di mana masyarakat adat, properti dan budaya mereka secara sistematis digantikan oleh penjajah pemukim invasif. Ciri-ciri kolonialisme pemukim meliputi pendudukan yang berkepanjangan dan permanen serta penegasan kedaulatan atas tanah adat; penghapusan dan penggusuran masyarakat hukum adat; represi budaya mereka dan eksploitasi tanah dan sumber daya mereka.
Patrick Wolfe (2006) menjelaskan kolonialisme pemukim sebagai sistem penghapus adat yang terus-menerus, bukan satu peristiwa. Tindakan Israel di Wilayah Pendudukan Palestina (terdiri dari Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza) bukanlah situasi sementara dan oleh karena itu istilah “kolonisasi” lebih tepat daripada “pendudukan”. Menurut laporan Human Rights Watch baru-baru ini, Israel mencari “tanah maksimal dengan warga Palestina minimal”. Di antara laporan penting lainnya yang mendahuluinya adalah salah satu dari tahun 2013 berjudul ‘Laporan Misi Pencari Fakta Internasional Independen untuk Menyelidiki Implikasi Pemukiman Israel terhadap Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya rakyat Palestina di Seluruh Wilayah Palestina yang Diduduki, termasuk Yerusalem Timur’. Laporan ini menyimpulkan bahwa tindakan Israel merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional, termasuk kewajiban untuk tidak memindahkan penduduknya ke Wilayah Pendudukan Palestina (Uma, 2021).
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Mantap Pak Dosen
“Kemerdekaan ialah hak segala Bangsa”
Terima kasih atas tulisan yang bagi saya adalah langkah nyata perjuangan mewujudkan cita-cita kita sebagai negara yang merdeka.
Terima kasih Bung, jangan sungkan untuk merespon juga dengan kritik terbaik…ditunggu juga tulisanmu ya .