“Pameran ini bukan (sekadar) tentang reformasi. Juga tidak dalam rangka menguatkan glorifikasi, apalagi pada titik ketika kehidupan kita sekarang masih terus bergelut memperjuangkan demokrasi,” demikian pembuka bagi pernyataan pameran yang akan tersebar di beberapa ruang Mantrijeron dalam Februari Maret mendatang. Pameran berjudul Mengingat 25 Tahun Reformasi ini melibatkan 33 seniman dari berbagai generasi dan konteks budaya-politik di Indonesia
Pameran ini bisa jadi lebih diinisiasi untuk menjadi ruang yang mempertemukan beragam ingatan tentang sebuah masa yang telah mengubah banyak hal dalam kehidupan individu maupun kita sebagai warga sebuah bangsa. Proyek ini membicarakan penanda dalam titi mangsa ini bersama para seniman dari beragam latar belakang dan berlainan generasi. Bagaimana sebuah peristiwa dalam sejarah dapat melahirkan tafsir yang berbeda, dikenang dengan cara yang tak sama, dan membangun percakapan yang bisa membawa kita ke segala arah?
Reformasi pada saat kemunculannya bisa jadi merupakan sebuah titik yang diharapkan membuka cara tata kelola pemerintahan yang baru, di mana sebuah tirani dilengserkan, dan babak baru diperjuangkan. Reformasi adalah puncak dari gejolak dan dinamika politik yang telah berlangsung bertahun-tahun, melahirkan gerakan sosial yang berbasis pada solidaritas dan perjuangan untuk kebebasan: ada banyak nyawa dikorbankan, mereka yang hilang, atau kisah tentang pembungkaman.
Direktur Artistik Pameran, Alia Swastika menyatakan, “Membicarakan rentang reformasi tidak bisa hanya berfokus pada tahun 1998 saja, tetapi masa sebelum dan bertahun setelahnya. Tahun 1998 dan peristiwa reformasi kemudian dilihat sebagai pintu masuk bagi para seniman generasi baru untuk membicarakan apa yang dekat dengan mereka di masa kini.”
Menyandingkan karya-karya ini dengan karya seniman generasi baru menjadi cara untuk melihat. bagaimana praktik seni bergeser dari waktu ke waktu; tidak hanya ideologinya, tetapi juga wacana, praktik dan ekosistemnya. Dua kurator- Dwiki dan Savitri—dalam pameran ini menunjukkan bagaimana reformasi dibaca dalam konteks ruang-ruang “pinggiran” alih-alih memfokuskan wacana di kota besar yang acap menjadi pusat politik, serta bagaimana posisi identitas gender memberi pengaruh besar dalam pembacaan atas situasi politik.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>