More

    Belajar Melawan Dari Ibu-ibu Penjaga Gunung Kendang

    Dari kiri Sukinah, Murtini, Bualit, Ngatemin, para perempuan penjaga Gunung Kendang. Foto : Fauzan
    Dari kiri Sukinah, Murtini, Bualit, Ngatemin, para perempuan penjaga Gunung Kendang. Foto : Fauzan

    Ada pemandangan tak biasa di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Jakarta, Selasa, (18/03/2015). Empat orang ibu-ibu menggenakan kebaya, kain batik, sanggul berserta tusuk konde di kepala, menyanyikan tembang Jawa berjudul Ibu Pertiwi dan Petani.

    Tembang tersebut dinyanyikan bukan ingin menghibur aktivis Walhi. Melainkan menyuarakan perjuangan mereka melawan pembangunan pabrik semen di kawasan Gunung Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, kampung asal mereka.

    Hari itu tepat 273 hari mereka berjuang melawan pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Kehadiran mereka di Jakarta selain meminta dukungan, mereka juga mengadukan sejumlah ketidakadilan yang menimpa selama berjuang menolak pabrik semen tersebut. Sejak kemarin mereka datang ke sejumlah lembaga, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Walhi, dan juga KontraS.

    - Advertisement -

    Empat ibu-ibu yang berada di kantor Walhi ini merupakan perwakilan dari warga Rembang yang menolak pabrik semen. Mereka menolak karena, pembangunan pabrik semen tersebut akan merusak sumber air dan lingkungan di kaki Gunung Kendeng.

    Salah satu upaya menolak pabrik semen adalah membangun tenda di depan lokasi akan dibangunnya pabrik semen. Mereka mulai mendirikan tenda dari sejak peletakan batu pertama yakni tanggal 16 Juni 2014 hingga hari ini. Para Ibu-ibu ini mengaku akan berjuang menolak pabrik semen hingga pabrik semen PT Semen Indonesia angkat kaki dari kampung mereka.

    “Gunung Kendeng bagi petani itu surganya petani. Gunung Kendeng sumber air bagi petani. Sumber kehidupan bagi makhluk hidup,” kata Sukinah, salah satu petani Rembang di kantor Walhi.

    Oleh karena itu, kata Sukinah, sejak peletakan batu pertama pembangunan pabrik semen di Gunung Kendeng pada 16 Juni 2014, mereka berinisiatif untk menduduki tapak pabrik supaya tidak terjadi penambangan di pegunungan Kendeng.

    “Gunung Kendeng adalah Ibu pertiwi. Ditanami apa saja sangat subur, jadi kami harus mempertahankan gunung itu dan lingkungannya,” ungkap Sukinah yang mengenakan kebaya berwarna putih.

    Apalagi menurut Sukinah, mereka pernah mendapat piagam lumbung padi dari pemerintah. Oleh karena itu mereka mempertanyakan penambangan semen yang nantinya bisa merusak pertanian masyarakat.

    “Kami sebagai petani,  orang kampung yg kerjanya bertani kami ingin mempertahankan lingkungan supaya lestari,” terang Sukinah.

    Sebenarnya perlawanan warga Rembang bukan tanpa alasan ilmiah. Dalam surat rekomendasi Surono, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, merekomendasikan pelarangan penambangan di kawasan cekungan air tanah (CAT) Watuputih, yang menjadi lokasi pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Rembang. Rekomendasi telah disampaikan melalui surat nomor 3131/05/BGL/2014 kepada Gubernur Jawa Tengah tertanggal 1 Juli 2014 lalu. Pelarangan itu karena untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih.

    Karena itu, warga sebagian berprofesi sebagai petani ini menolak dengan keras penambangan pabrik semen. Mereka mengkhawatirkan pabrik semen itu akan merusak sumber mata air dan mengahancurkan pertanian warga.

    “Gunung Kendeng itu seperti Kendi tempat untuk air. Kalau pecah, maka tidak ada kehidupan. Kami sebagai petani tidak bisa dipisahkan dari air,” kata Ngatemin yang mengenakan kebaya berwarna biru.

    Menurut Ngatemin, mereka sudah cukup makmur menghidupi keluarga mereka dari bertani. Dengan adanya pabrik semen artinya kehidupan mereka dirampas. Karena mereka percaya, pabrik semen tidak mungkin memakmurkan kehidupan masyarakat.

    “Kami bukan makan semen tapi nasi,” ungkap Ngatemin.

    Agar pabrik semen batal dibangun, Ibu-ibu warga Rembang tak hanya membangun tenda. Mereka juga melakukan upaya blokir jalan. Bahkan mereka sempat mengalami kekerasan oleh aparat.

    Kekerasan ini salah satu dialami oleh Murtini. Ia mengaku mengalami kekerasan saat menduduki tapak pabrik bersama teman-temannya. Ia pernah ditendang, dipukul, dan bahkan diangkat dan dibuang aparat hingga pingsan.

    Peristiwa itu berlangsung pada hari pertama aksi penolakan pembangunan pabrik semen pada 16 Juni 2014.

    “Saya korban kekerasan polisi tanggal 16 juni 2014. Saya aksi bersama teman-teman blokir jalan. Ketika itu saya diangkat aparat lalu saya dibuang sampai pingsan. Saya diangkat empat polisi kemudian dilempar,” kata Murtini.

    Tak hanya itu, ia menceritakan, pada aksi berikutnya, saat mereka kembali memblokir jalan dengan lumbung padi sambil nembang Jawa. Mereka didatangi polisi. Kemudian Polisi mengambil lesung yang sedang mereka gunakan.

    “Ketika itu lesung ditarik polisi. Walaupun dipukuli saya tetap mengejar hingga kaki saya berdarah,” kata Murtini yang saat itu menggunakan kebaya berwarna coklat.

    Meski pernah mengalami kekerasan, para pejuang Gunung Kendeng yang sebagaian besar Ibu-ibu ini merasa tak gentar menghadapi aparat kepolisian. Bahkan kekerasan-kekerasan yang dialami justru meyakinkan mereka untuk terus melawan pendirian pabrik semen. Hingga pabrik PT Semen Indonesia hengkang dari kampung mereka.

    “Kami sebagai petani orang kampung yang harusnyaa bertani, kami bepesan agar mempertahankan lingkungan supaya lestari. Rakyat nantinya tentrem. Karena menanam adalah melawan,” kata Sukinah.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here