Frino Bariarcianur
Ahmad Yunus, pemuda Indonesia yang beruntung. Punya semangat dan ketekunan yang luar biasa. Bersama rekannya yang lebih tua, Farid Gaban, seorang jurnalis kawakan, mereka berpetualang mengelilingi Indonesia. Pake motor!
Petualangan ini dikenal dengan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa. Mengunjungi pelbagai pelosok Indonesia selama kurang lebih satu tahun lamanya. Tidak sekadar lewat tapi juga mencatat. Sebenarnya, perjalanan keliling Indonesia menggunakan sepeda motor bukanlah hal baru. Para bikers sudah memulai dan memiliki tradisi untuk berkeliling Indonesia. Ada yang menggunakan vespa, motor tua, motor metik dengan berbagai merek. Aku sendiri sempat beberapa kali menemui para bikers yang sedang berkeliling Indonesia. Ada yang 9 bulan tapi ada juga yang bertahun-tahun lamanya. Ada yang sekadar melintas, ada pula yang mengumpulkan bendera-bendera komunitas.
Hanya yang tak dimiliki para bikers adalah mencatatkan perjalanannya. Membagi pengalamannya pada orang lain, di luar komunitas bikers. Padahal pengalaman para bikers ini tentulah menarik untuk disimak. Dan catatan ekspedisi Yunus ini menurutku menularkan virus baru yang positif.
Buku “Meraba Indonesia” Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara, penerbit Serambi (2011) setebal 372 ini merupakan hasil catatan perjalanan Yunus yang tidak sakadar menulis layaknya penulis travelling kebanyakan. Ia melengkapi tulisannya dengan data-data sejarah, melakukan wawancara, dan pengamatan yang cermat. Dengan kepiawaiannya, karena terlatih menulis, catatan yang berlembar-lembar ini pun enak untuk dituntaskan.
Sehingga menurutku ada rasa dalam setiap peristiwa mereka.
Suatu ketika, Yunus dan Mas Farid singgah di Pontianak. Sungguh beruntung aku bisa menemui mereka yang tengah mempersiapkan perjalanan menyusuri Kalimantan Barat. Bertemu dengan kawan yang lagi ramai dibincangkan. Kesempatan ini tak kusia-siakan untuk mendengar cerita langsung dari mereka.
Akhirnya pertemuan kami dituntaskan dengan berfoto ria di bawah Tugu Khatulistiwa. Yunus dan Mas Farid akan melanjutkan ke daerah Ketapang sementara aku harus pulang kampung ke Singkawang. Motor CB-ku si Dian Beatrix pun seperti mendapatkan tenaga tambahan. Perjalananku memang tak seberapa dibanding mereka. Tapi menjadi lebih mengasyikkan.
“Gas bro….gasss!” begitulah kalimat yang sering aku dan Yunus ucapkan jika bertemu. Ya, begitulah kira-kira.
Setelah kubaca-baca buku ini. Maka hikmah yang bisa dipetik dari sebuah perjalanan panjang dan melelahkan adalah memahami permasalahan dengan perspektif yang berbeda. Jarak juga memengaruhi cara pandang kita. Mungkin itulah kenapa Nabi Muhammad melakukan Hijrah.
Banyak berpindah, banyak berkah juga hikmah.
Untuk melihat persoalan Indonesia, memang tak pantas hanya dilihat dari Jakarta atau dari Tanah Jawa. Meskipun setiap daerah memiliki utusannya masing-masing di Gedung DPR. Kita tahu, orang-orang yang duduk di Gedung DPR tidak 100 persen mewakili daerah atau memahami daerahnya masing-masing. Apalagi melihat persoalan dari Istana, tentu lebih repot lagi. Dari Istana biasanya akan banyak terharunya ketimbang melakukan penyelesaian masalah Indonesia.
Melihat persoalan Indonesia, memang harus lebih dekat. Bahasa Yunus, meraba.
Meraba adalah sesuatu kegiatan yang dapat dikategorikan menggunakan rasa sensitivitas yang tinggi. Misalkan seorang buta atau kita yang sedang berada di dalam kegelapan, akan meraba untuk mengetahui siapa orang di depan. Untuk mengidentifikasinya kita juga menggunakan pendengaran, telapak tangan, membaui dan juga mengecap. Saat meraba itu seluruh indera kita “dipaksa” untuk bekerja lebih. Sensitif.
Hasilnya, semakin mengukuhkan bahwa orang-orang yang tinggal di republik yang indah ini tak sepenuhnya bahagia. Memang tak sepenuhnya pula miskin. Hanya sial, persoalan demi persoalan tak pernah tuntas dengan baik. Kita pun hanya dipaksa sampai pada tembok prihatin dan banyak mengucap, “kasihan ya..kasihan..” atau menitikkan air mata. Itu pun lagi-lagi masih bagus ketimbang sama sekali kehilangan hati nurani.
Yunus beruntung punya kawan perjalanan yang kaya pengalaman seperti Farid Gaban. Wartawan senior, pernah bertugas di medan perang dan kini meladeni “perang-perang” intelektual di milis Jurnalisme. Mereka seperti Ayah dan Anak.
“Saya tidak pernah membayangkan tidur bersama selama satu tahun, dan itu bersama laki-laki,” kata Yunus sambil melirik Farid Gaban saat diskusi buku Meraba Indonesia di Galeri Foto Jurnalistik Antara beberapa bulan silam.
Tidak cukup sampai pada tulisan Yunus. Buku ini pun dilengkapi dengan video dokumentasi dibawah besutan Dandy Dwi Laksono dkk dari Watchdog. Sebuah kisah tersendiri perjalanan Zamrud Khatulistiwa dari sisi yang berbeda pula. Farid Gaban juga sedang mempersiapkan sejumlah buku-buku bertema kelautan Indonesia.
Kita tetap bisa menagih cerita-cerita Zamrud Khatulistiwa, meskipun mereka sudah menerbitkannya dengan berbagai medium cerita.
Sekali lagi Yunus dan juga Farid Gaban adalah pemuda Indonesia yang beruntung. Tapi percayalah, keberuntungan mereka tidak simsalabim atau turun dari langit. Keberuntungan mereka lebih karena tekad, istiqomah, kerja keras, pemikiran yang terbuka dan rasa persahabatan kepada siapa pun. Sehingga cita-cita mengililingi Indonesia itu tercapai dengan gemilang.
Kita bisa membaca buku ini berulang-kali. Untuk melakukannya, kita pun berpikir berulang-kali. []