More

    Agama Apapun untuk Siapapun

    Rafi’i Hidayatullah Nazari

    Rafi’i Hidayatullah Nazari. FOTO : Dokumentasi Suara Kampus IAIN Padang

    Agama biasanya dijadikan alasan pembenaran bagi apa yang sebenarnya merupakan konflik sekuler yang tekait dengan nasionalitas atau etnisitas, walupun kadang kedua pihak yang berselisih menganut agama yang sama.

    (Steve Bruce, 2000: 11)

    - Advertisement -

    Statement Steve Bruce di atas cukup sederhana. Namun statement yang ia tulis dalam buku berjudul “Fundamentalim; Pertautan Sikap Keberagamaan dan Modernitas” tersebut menyebabkan otak saya mengingat kehidupan beragama di negara ini yang terkadang brutal.

    Tak perlu pula dijelaskan satu per satu, dalam benak kita pasti tersimpan rangkaian sikap radikalisme umat beragama di negara ini. Sikap yang tidak mencerminkan kehidupan umat beragama. Baik antara agama yang satu dengan yang lain ataupun dengan agama itu sendiri.

    Sekian lama kita hidup dalam masyarakat yang plural, baik dari segi budaya maupun agama. Namun, akhir-akhir ini hal tersebut sering menjadi boomerang, perselisihan kecil sering kali menjadi konflik yang besar.

    Rasanya, apapun agamanya, pasti mengajarkan kepada umatnya untuk hidup rukun dan menghargai agama yang lain,terlebih agama Islam.

    Islam hadir di muka bumi ini bukan untuk menghancurkan agama lain. Bahkan, Islam secara penuh menjamin kemerdekaan beragama. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 256, “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam)”. Sementara itu dalam surat lain, Al-Quran menjelaskan, “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”(Q.S Al-Kafirun:6)

    Sangat disayangkan, fanatisme terhadap agama sering kali membuat umatnya bertindak semaunya, menganggap agamanyalah yang paling benar dan tak boleh ada agama lain. Anti perbedaan, sikap yang sangat sulit diterima akal sehat.

    Beberapa kelompok yang mengaku beragama menginginkan hanya ada satu agama di dunia ini, itu hal yang sangat mustahil. Sampai kapan pun perbedaan akan selalu ada. Bahkan dalam satu agama saja, ada banyak perbedaan, apalagi dengan agama yang berlainan.

    Hal yang perlu dan harus dilakukan adalah menyikapi perbedaan tersebut dengan saling memberi kesempatan untuk menjalani perbedaan itu sendiri.

    Tidak salah, menganggap agama kita yang paling benar. Namun, menyalahkan agama lain adalah kesalahan yang paling besar. Apalagi berusaha menghancurkan agama lain, suatu sikap beragama yang tidak beradab.  Agama merupakan sebuah hak dalam diri seseorang. Siapapun boleh memilih memeluk agama apapun. Siapa pun boleh memih tuhan yang mana pun. Tidak ada agama yang salah, ini hanya soal prinsip dan keyakinan dalam diri masing-masing individu.[]

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    1. umat Islam (Indonesia) terlalu sempit memaknaik “Islam”,Islam yg dmaknai tdk sesuai dg prinsif Rahmatallil “alamin. akibatnya, lhirlah pola beragama yg ego. sya khwatir pemahaman Islam kt telah tinggal akar sejarah, maksudnya ada akar sejarah yg terputus/sgaja dputuskan. sbb Islam yg sya phami itu merupakan sikap pasrah, dan hal itupun sbagaimana yg di ungkapkan oleh Ibnu taimiyah, al-Istislam yaitu suatu skap tunduk, patuh. jd, mungkin sja scara tujuan (esoterik) kita sama, dan yg beda hanyalah syari’atnya. ayat al-qur’qn sja byk menggambrkan hal tersebut.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here