Perayaan 15 hari Imlek atau dikenal dengan Cap Go Meh merupakan acara ritual budaya paling ditunggu di Singkawang, Kalimantan Barat. Pada perayaan ini puluhan ribu orang dari berbagai dunia menyaksikan atraksi Tatung.
Dalam ritual Cap Go Meh, ratusan tatung dengan baju kebesaran laksana para dewa menusukkan benda-benda tajam ke tubuhnya. Mereka duduk di atas parang besar, menggesek-gesekkan pedang ke lidah, atau menancapkan besi tajam ke pipi mereka.
Mereka datang dari 8 penjuru, bersama keluarga, beriring-iringan, di atas tandu berkeliling kota. Di barisan paling depan, Pak Khung diarak untuk memberikan berkat ke seluruh kota.
Mereka datang atas panggilan kepercayaan dan tugas yang sekali setahun harus mereka emban. Secara kasat mata, mereka seperti menyakiti dirinya sendiri. Di balik itu, para tatung mencapai pada kondisi spiritual yang tinggi.
Sebuah kehormatan dan kebanggaan.
Dalam perayaaan Cap Go Meh, mereka diarak bak para dewa. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah orang-orang biasa yang bekerja sebagai tabib, montir, tukang masak, tukang pasang gigi, penjual babi, petani dan sebagainya.
Mereka menjadi tatung karena panggilan jiwa, keturunan, dan juga alasan demi melanjutkan kehidupan. Diantara mereka ada yang harus menjual televisi atau barang-barang lain agar bisa turun merayakan Cap Go Meh. Kesungguhan hati mereka telah melewati pelbagai zaman di Indonesia hingga di tahun 2000, saat Gus Dur membebaskan orang-orang Tionghoa dapat merayakan kebudayaannya.
Perayaan Cap Go Meh Singkawang adalah perayaan untuk melihat kembali kondisi kota dalam chaos sehari untuk mendapatkan keteraturan dan keberkahan. Di kota inilah, garis tegas perbedaan budaya menyatu, bagai gunung, sungai, hutan dan lautan.[]