Frino Bariarcianur
SURABAYA, KabarKampus-Tidak dengan tiba-tiba lumpur panas di daerah Sidoarjo muncrat ke atas. Lumpur itu menyembur karena kesalahan PT Lapindo Brantas yang tidak melakukan pengeboran sesuai dengan mekanisme. Sayang, tragedi karena ulah manusia ini tidak dianggap pelanggaran HAM.
Bosman Batubara, alumni Fakultas Teknik Jurusan Teknik Geologi UGM, menyatakan keterlambatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah lumpur Sidoarjo disebabkan tidak adanya definisi yang tepat dalam memahami bencana yang terjadi.
”Yang terjadi di Sidoarjo bukanlah bencana alam atau teknologi. Ini adalah bencana industri,” tegas Bosman saat menjadi pembicara di Institut Teknologi Sebelas November, Senin kemarin (27/05/2013).
Permasalahannya pun semakin luas mulai dari ganti rugi untuk korban sampai hak hidup warga Sidoarjo yang terampas. Menurut Bosman permasalahan Lumpur Lapindo menyangkut aspek mitigasi bencana, hukum, HAM, ekonomi serta sosial politik.
Dalam menangani tragedi kemanusiaan ini, rupanya pemerintah Indonesia masih berpihak kepada korporasi, yakni PT Lapindo Brantas. Hal ini terlihat dalam Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden SBY, antara lain Perpres No 14 tahun 2007, No 48 tahun 2008, dan 40 tahun 2009. Ketiga perangkat hukum ini mengatur tanggung jawab antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas.
Ditambah keputusan Komisi Nasional HAM tahun 2012 yang mengeluarkan putusan bahwa bencana Lumpur Lapindo bukan pelanggaran HAM berat. Keputusan soal hajat hidup orang banyak ini ditentukan dengan pungutan suara. Dari 11 komisioner, 5 anggota Komnas HAM sepakat tragedi itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.
Berbagai usaha telah ditempuh oleh warga Sidoarjo, ilmuwan, seniman, mahasiswa dan aktivis sosial yang peduli, kiranya hasil belum sesuai harapan.
Dalam seminar itu, seorang korban Lumpur Lapindo, Harwati dari Desa Siring, Sidoarjo mengungkapakan sudah tidak terhitung lagi kerugian yang dialami oleh korban dalam 7 tahun belakangan. Janji PT Lapindo Brantas belum tuntas sepenuhnya.
”Dan lagi, pemerintah seperti tidak peduli kepada kami. Kalau sudah begini, kepada siapa lagi kami harus percaya?” kata Harwati seperti dikutip dari ITS.ac.id.
Dalam catatan Harwati, tahun 2013 terdapat banyak anak korban Lumpur Lapindo yang kesulitan membayar iuran sekolah. Bahkan seorang anak menunggak iuran sekolah sebesar Rp.3,5 juta. ”Kami untuk makan saja susah, apa lagi buat bayar ini itu. Siapa yang mau membayarkan? Apa bapak ibu, mau?” kata Harwati.
Persoalan demi persoalan terus berdatangan sejak lumpur panas menyembur tanggal 29 Mei 2006. Pemerintah Indonesia tetap bersikukuh bahwa tragedi kemanusiaan ini murni akibat fenomena alam. Padahal sejumlah aksi geologi dunia telah menyatakan murni kesalahan manusia.
Dr Amien Widodo, Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim ITS, menyebutkan, dalam waktu dekat ia bersama timnya akan meneliti besaran lubang semburan lumpur. Apabila memungkinkan, ia akan memberikan rekomendasi mekanisme penutupan lumpur tersebut kepada pihak terkait.
”Akan tetapi, tetap yang harus diselesaikan pertama adalah dampak kemanusiaan yang terjadi pada para korban,” kata Amien. []