ABC AUSTRALIA NETWORK
Sebuah program pelatihan yang memberi beasiswa bagi 15 mahasiswa jurusan peternakan dari Indonesia untuk berlatih di Australia telah berhasil meraih tujuan untuk bukan hanya memberi keterampilan tapi juga membangun hubungan antara Indonesia dan Australia -termasuk tentang pengertian agama dan budaya.
Beberapa keterampilan yang dipelajari oleh beberapa mahasiswa yang diwawancarai oleh Radio Australia adalah kemampuan bekerja disiplin, pengetahuan mengenai kesejahteraan hewan, cara menunggang kuda, dan juga, bagi beberapa, pengertian kenapa orang-orang di peternakan Australia seringkali menggunakan kata-kata yang dianggap kasar.
Deti Inayatun, mahasiswi Institut Pertanian Bogor berusia 21 tahun yang mengaku adalah seorang yang pemalu, mengatakan sulit pada awalnya untuk menghadapi budaya berbicara yang terkesan lebih kasar dari yang biasa dia hadapi di kota Bogor.
“Untuk minggu pertama itu saya shock karena mendapat kata-kata kasar seperti itu, saya hanya bisa bersabar dan beradaptasi. Mungkin mereka juga menyadari Indonesia merupakan budaya yang sangat halus dan sopan. Jadi mereka beradaptasi dengan saya, saya beradaptasi dengan mereka.
“Sumpah serapah itu karena mereka sangat kesal, sangat cape, jadi mereka mengatakan hal seperti itu. Dan mungkin karena ada beberapa kesalahan, jadi mereka semakin bersumpah serapah. Saya juga mengucapkannya, tapi hanya dalam hati, karena saya tidak berani mengucapkan,” katanya sambil tertawa.
Yudhistira Pratama, mahasiswa berusia 20 tahun dari Universitas Padjajaran di Bandung, juga mengatakan tantangan budaya dan bahasa sulit dihadapi pada awalnya. Tapi dia mengaku sangat menikmati pengalamannya bekerja di peternakan-peternakan sapi Australia selama enam minggu, terutama karena melihat keindahan alam di Victoria River District.
“Berkuda menunggangi kuda seharian, dari pagi sampai sore, menggembalai sampai empat ribu sapi, dan di hadapan kita melihat awan yang sangat indah di Australia. Saya sangat suka melihat alam itu.
“Ketika saya tidur di kamp di tengah-tengah daerah terpencil yang kita tidak tahu di mana, kita lihat bintang-bintang di atas sangat indah sekali…pengalaman yang sangat ‘wow’,” katanya.
Dan di malam-malam hari setelah bekerja itulah dia juga mengalami berbagai pembicaraan dengan pekerja lainnya yang tidak bisa dia lupakan.
“Kita sharing tentang agama, tentang agama saya…percakapan yang paling berkesan buat saya dan mereka, untuk memahami agama masing-masing.”
“Sempat ada satu orang yang menanyakan, terjadi teror-teror di mana-mana dan itu terjadi karena oknum muslim, dia tanya: kenapa itu terjadi? Saya bilang itu salah pemahaman terhadap agama…tidak semua orang muslim seperti itu. Saya sempat sedih dan mengeluarkan air mata di situ, oh ternyata begitu…”
Membangun hubungan dan pengertian
Program pelatihan ini dilakukan atas kerja sama antara organisasi peternak Northern Territory Cattlemen’s Association, Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia dan enam universitas dan berjalan selama delapan setengah minggu.
Para mahasiswa yang terpilih diberi pelatihan intensif selama dua setengah minggu di Darwin, dan kemudian dikirim ke peternakan-peternakan sapi di Australia Utara.
Konsul Indonesia di Darwin, Bapak Ade Padmo Sarwono, mengatakan program ini diharapkan olehnya bisa membantu membangun hubungan industri sapi ternak di masa depan, terutama dengan adanya peningkatan ketertarikan penanaman saham dari kedua belah pihak negara.
“Memang di bagian utara ini banyak peternakan sapi, kita di satu sisi mengharapkan investasi Australia terkait ternak, di sisi lain [pemerintah Indonesia] juga akan melakukan investasi di Australia.
“Kalau, Insyaallah, terjadi investasi, jadi mereka bisa menjadi rujukan sebagai narasumber mahasiswa, bagaimana sih sebetulnya melaksanakan ternak dengan baik.”
Deti, yang sebelum ke Australia belum pernah menunggang kuda, mengatakan para pekerja di peternakan sapi Australia menunjukkan usaha untuk mengerti budaya Indonesia dan Islam -dan ini sangat membantu dirinya.
“Karena ini tahun kedua, jadi sebelumnya sudah ada mahasiswa yang datang, dan mereka sudah mengerti bagaimana cara menghargai budaya Indonesia, terutama karena saya perempuan, mereka tidak pernah meminta saya minum alkohol.
“Ketika kita harus beribadah, bahkan saya saja lupa, sedang kerja, mereka tiba-tiba mengingatkan: Deti, it’s time for you to pray! Saya sangat berterima kasih pada mereka ini.”
Sedangkan Yudhistira sendiri menemukan seorang teman baru yang sangat membantunya untuk merasa betah selama di peternakan tersebut. Salah satu pekerja, Matthew, adalah seorang bumiputera Australia yang pernah belajar Bahasa Indonesia ketika masih muda.
“Ketika kita pulang, dinner malem-malem kita saling berinteraksi, saya ngobrol dengan salah seroang bumiputera Australia, Matthew, beliau sudah tua, beliau menganggap kami seperti anak sendiri. Itu sangat mengesankan sekali bagi saya.
“Saya sangat ingat sekali, kalau ingat beliau saya sangat sedih, karena setiap pagi beliau selalu berkata ‘selamat pagi’, dan ketika siang beliau berkata ‘selamat siang’, beliau pernah belajar Bahasa Indonesia karena pernah diajarin oleh seorang guru, gurunya orang Indonesia di Katherine.
“Hari terakhir sangat sedih, sampai jam 12 malem kita ngobrol-ngobrol. Udah seperti bapak sendiri. Kita ngobrol gimana nanti komunikasi, sambil nonton film, sambil dengerin lagu. Menikmati malam.”
Kini, para mahasiswa tersebut sudah kembali ke Indonesia, tapi sebuah hubungan yang erat telah terjalin, baik dalam industri yang sangat penting dalam masa depan hubungan Indonesia dan Australia, maupun dalam segi antar manusia Indonesia dan Australia.[]
SUMBER : RADIO AUSTRALIA