ABC AUSTRALIA NETWORK
Helen Brown
Pembakaran hutan ilegal untuk membuka lahan bagi perkebunan kelapa sawit sering terjadi di Sumatra. Dan kabut asap tebal dari pembakaran hutan tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang hidup di daerah sekitar.
Namun, kabut asap polusi tebal itu tahun ini sangat luar biasa sehingga mengganggu negara-negara tetangga dan memicu amarah terhadap Indonesia. Banyak pihak mengutuk pembakaran hutan yang terjadi di Sumatra dan mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan praktek ilegal tersebut.
Provinsi Riau sudah lama menjadi pusat praktek ilegal tersebut. Pembakaran hutan dilakukan pada musim kemarau, sehingga pembukaan lahan bisa dilakukan dengan cepat dan murah.
Tahun ini, kelompok pemerhati lingkungan Eyes on the Forest mengatakan, di bulan Juni saja, sudah lebih dari 6.700 pembakaran hutan terjadi di provinsi tersebut.
Tapi, praktek itu tidak diketahui hingga kabut asap tebal itu sampai ke Malaysia dan SIngapura sehingga memaksa Indonesia mengambil tindakan. Pemerintah telah meminta maaf dan mengatakan akan menghentikan pembakaran hutan itu.
Penyelidikan telah dimulai dan polisi setempat telah menangkap sepuluh orang tersangka. Kapolres Rokan Hilir, Tonny Hermawan, mengatakan penyelidikan terus berlanjut. “Pada saat ini, penyelidikan kami telah membuahkan hasil,” katanya.
“Bencana kebakaran hutan ini diakibatkan tidak hanya oleh faktor alam, tapi juga kelalaian manusia.”
Kebakaran hutan rugikan warga setempat
Nur’ainan dan Darwin bersama anak mereka Aditya adalah petani perkebunan pohon sawit yang tinggal di Rokan Hilir, Riau.
Mereka memanen tanaman di lahan gambut dan bekerja di tengah-tengah asap dan api yang membakar hutan di sekitar lahan pertanian mereka.
Mereka tidak punya andil dalam praktek pembakaran hutan dan telah menjadi korban kebakaran hutan. Beberapa hari yang lalu, api dari sebuah perkebunan merambat dan membakar habis pepohonan yang tumbuh di lahan subur mereka.
Nur’ainan mengatakan sangat sulit baginya untuk melihat lahannya yang telah terbakar habis. “Saya sedih,” katanya. “Sedih, marah, semuanya. Saya mengutuk pemerintah yang telah gagal membantu.”
Darwin, suami Nur’ainan, merasakan yang sama. Keluarga itu berjuang untuk mematikan api yang melahap lahan mereka. Ketika mereka berhasil memadamkan api, 30 hektar perkebunan kelapa sawit mereka habis terbakar.
“Api bergerak sangat cepat,” kata Nur’ainan. “Polusi udara dimana-mana membuat kami sulit bernafas dan, mata jadi perih…”
Darwin dan Nur’ainan mengatakan mereka telah mengikuti proses legal dengan mendapatkan izin berkebut dan membuka lahan tanpa menggunakan mesin.
“Lahan kami tadinya hutan. Saya habis 4 juta rupiah per hektar untuk membuka lahan. Tanpa membakar!” ujar Darwin.
Perjanjian anti polusi asap ASEAN
Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang belum menandatangani perjanjian anti polusi asap lintas perbatasan yang dirancang lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Para menteri senior Singapura, Malaysia dan Indonesia telah bertemu untuk mendiskusikan masalah tersebut. Perusahaan-perusahaan dari tiga negara yang beroperasi di Sumatra disebut-sebut sebagai biang keroknya.
“Selain menangani para pelaku, kami juga membantu polisi daerah dan menteri lingkungan untuk menyelidiki wilayah-wilayah dimana tanah perusahaan dibakar,” kata kapolres Rokan Hilir provinsi Riau Tonny Hermawan.
Bagi anak Darwin dan Nur’ainan, Aditya, pemerintah terlalu lamban dalam bertindak.
“Presiden gagal mengambil tindakan cepat. Semua telah terbakar habis,” keluhnya.[]
SUMBER : RADIO AUSTRALIA