Oleh Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
FUNDAMENTAL ekonomi Indonesia itu lemah. Pertumbuhan ekonomi memang tinggi, tetapi dia tidak independen alias minus kemandirian. Akibatnya, sendi-sendi ekonomi negara mudah terguncang oleh perubahan eksternal berskala kecil sekali pun. Begitulah jadinya jika politik ekonomi dipraktikan tanpa militansi membangun kemandirian
Menjelang pekan terakhir Agustus 2013, grafik perekonomian nasional sungguh menggelisahkan. Perkembangan harga di dalam negeri semakin ekstrim alias terus menjauh dari jangjauan daya beli rakyat kebanyakan. Hari-hari ini, bukan hanya harga kebutuhan pokok yang mahal, bahkan harga valuta dolar AS terus bertambah mahal. Konsekuensinya,harga bahan pangan yang diimpor akan bertambah mahal pula. Semua kecenderungan ini menggambarkan rapuhnya fundamental ekonomi negara.
Indikator kerapuhan itu sudah terbaca ketika pemerintah bersikukuh menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjelang akhir Juni 2013. Kendati jutaan keluarga sedang bergelut mengatasi beban puncak berkait dengan kebutuhan biaya pendidikan anak dan persiapan menyongsong bulan Ramadhan plus perayaan Indul Fitri, pemerintah sama sekali tak mau berkompromi. Sikap yang demikian mengindikasikan bahwa pemerintah sedang mengalami kesulitan likuiditas. Begitu keringnya likuiditas sehingga untuk menetralisir harga daging di pasar dalam negeri pun pemerintah tak mampu.
Gambaran kerapuhan itu menjadi semakin nyata ketika nilai tukar dolar AS terhadap rupiah terus menguat disertai dengan ambruknya indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Penyebab depresiasi rupiah dan turunnya harga saham di BEI adalah keluarnya dana-dana asing dari Indonesia. Dana-dana itu keluar sebagai respons atas kebijakan otoritas moneter Amerika Serikat (AS) menghentikan program stimulus ekonomi, pertanda ekonomi AS telah terkonsolidasi.
Maka, kritik Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais tentang kondisi riel perekonomian nasional dewasa ini sudah merangkum aspirasi berbagai elemen bangsa yang telah seringkali disuarakan. Ketika berpidato pada acara ulang tahun PAN ke-15 di Jakarta, baru-baru ini, Amien Rais berujar,” Kita ini, maaf saya katakan, jadi bangsa jongos di rumah sendiri. Tidak ada kemandirian, kurang berkeadilan, ekonomi kita hancur-hancuran. Semua itu bukan karena konstitusi, tapi people behind constitution.”
Bahkan kecaman Amien itu ibarat menyambung lidah jutaan ibu rumah tangga yang sangat kecewa dengan ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan aneka harga kebutuhan pokok selama bulan Ramadhan hingga hari-hari menjelang perayaan idul Fitri tahun ini. Sepanjang Juni, Juli hingga awal Agustus 2013, harga aneka kebutuhan pokok menjadi sangat mahal karena sebagian besar harus diimpor. Dari daging sapi hingga sejumlah jenis komoditi sayur mayur.
Karena Indonesia negeri agraris, ketergantungan yang begitu tinggi terhadap bahan pangan impor menjadi penjelasan yang sangat gamblang tentang rapuhnya fundamental perekonomian negara. Kalau sektor pertanian, perkebunan dan juga sektor peternakan dibangun berlandaskan semangat mewujudkan kemandirian, langkah impor tidak diperlukan. Sebaliknya, Indonesia seharusnya bisa swasembada dan menjadi leader dalam ekpor komoditi pangan.
Kalau saja agenda atau program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan dulu sudah direalisasikan, benih-benih kemandirian bangsa pasti sudah terbangun. Setidaknya, Indonesia tak perlu lagi impor cabai, tomat dan bawang. Sayang, janji revitalisasi sektor pertanian hanya pepesan kosong. Sebab, ketergantungan pada bahan pangan impor justru bertambah kuat.
Kalau sudah seperti itu kecenderungannya, jangan heran jika neraca perdagangan juga ikut rapuh alias gampang defisit. Kini, upaya menyeimbangkan neraca perdagangan tidak hanya dirongrong oleh besarnya kebutuhan devisa untuk belanja atau impor BBM, tetapi juga impor bahan pangan. Artinya, demi stabilitas, ketersediaan dua kelompok komoditas strategis ini harus selalu terjaga. Jadi, jelas bahwa taruhannya sangat mahal; antara menjaga stabilitas nasional dan ketidakseimbangan neraca perdagangan. Bisa dipastikan bahwa sangat sulit bagi pemerintah menjaga keseimbangan neraca perdagangan, karena tidak ada potensi apa pun yang dapat menurunkan impor BBM dan komoditi kebutuhan pokok.
Pekan lalu, pemerintah menerbitkan empat kebijakan ekonomi untuk menangkal ancaman krisis ekonomi. Paket kebijakan itu merupakan gabungan kebijakan Kementerian Perekonomian, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kebijakan pertama fokus pada upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ekspor dipacu dan meringankan pajak bagi industri berorientasi ekspor. Impor migas diturunkan dengan memperbesar konsumsi biodiesel. Juga menaikkan pajak barang mewah untuk mobil CBU dan barang impor bermerek dari 75% menjadi 125% hingga 150%.
Kebijakan kedua fokus menjaga pertumbuhan ekonomi. Defisit APBN-2013 tetap sebesar 2,38%, dan memberikan insentif kepada industri padat karya. Sedangkan kebijakan ketiga berupaya menjaga daya beli. pemerintah dan BI menangkal gejolak harga dan inflasi. Sementara kebijakan keempat fokus pada upaya mempercepat investasi. Pemerintah akan mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Saat ini sudah dirumuskan pemangkasan perizinan hulu migas dari 69 izin menjadi 8 izin. Pemerintah juga akan mempercepat revisi peraturan daftar negatif investasi (DNI).
Namanya juga kebijakan, pastilah ideal. Namun, apakah empat kebijakan itu relevan untuk merespon depresiasi rupiah dan kejatuhan harga saham? Patut diragukan. Buktinya, pasar tetap saja bereaksi negatif. Ada dua tafsir yang bisa dimunculkan dari reaksi pasar seperti itu.
Pertama, pasar tidak yakin pemerintah kapabel menangkal ancaman krisis. Kedua, empat kebijakan itu memang tidak relevan dengan potensi ancaman terkini. Sebab, esensinya lebih mengarah pada upaya mempromosikan investasi dan membangun hambatan tarif untuk memperkecil volume impor barang mewah.
Padahal, persoalan paling utama yang sedang dihadapi perekonomian negara saat ini adalah nilai tukar atau depresiasi rupiah, khususnya terhadap dolar AS. Ekses dari menguatnya nilai tukar dolar AS sangat jelas; merongrong neraca perdagangan dan dampak atau pengaruhnya terhadap harga di pasar dalam negeri, karena BBM dan sebagian komoditi pangan diimpor.
Sepanjang tahun 2012 nilai impor pangan Indonesia mencapai Rp125 triliun. Lonjakan relatif tinggi, karena tahun 2011 masih di kisaran Rp 90 triliun. Komoditi pangan yang diimpor meliputi beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, daging sapi dan daging ayam, garam, singkong dan kentang. Tahun ini, nilai impor bahan pangan pasti melonjak lagi karena krisis daging sapi yang berkepanjangan.
Jadi, sudah jelas bahwa Indonesia bisa dibayangi krisis ekonomi karena faktor eksternal. Fakta ini membuktikan daya tahan ekonomi negara sangat lemah. Maka, harus ditumbuhkan militansi untuk membangun dan memperkuat fundamental ekonomi negara. Sebagai negara agraris, Indonesia mestinya mampu memenuhi kebutuhan bahan pangan sendiri. Dengan sumber minyak yang cukup memadai, kebutuhan akan BBM mestinya tidak seluruhnya diimpor. Cukup dengan kemauan politik, kemandirian bangsa bisa diwujudkan.[]