ABC AUSTRALIA NETWORK
Fact Check ABC mengupas pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Australia melanggar hukum bila menyadap telepon sejumlah pejabat Indonesia.
Baik Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, dan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, telah berkomentar tentang skandal tuduhan spionase yang terlihat memanaskan hubungan kedua negara.
Tanggal 19 November lalu, Abbott berkata di hadapan parlemen Australia, “Semua pemerintahan mengumpulkan informasi dan…semua pemerintahan tahu bahwa pemerintahan lain mengumpulkan informasi.”
Sedangkan SBY mengatakan dalam sebuah pernyataan yang disiarkan lewat televisi bahwa menurutnya hukum Indonesia, Australia maupun hukum internasional tidak memperbolehkan penyadapan pejabat-pejabat negara lain.
ABC melakukan pemeriksaan fakta, kalau memang penyadapan telepon SBY, Ibu Ani Yudhoyono, dan kegiatan spionase lainnya memang terjadi, apakah tindakan-tindakan tersebut melanggar hukum seperti yang dikatakan SBY?
Di Australia
Pengawasan tertutup di Australia dilakukan oleh Australian Intelligence Community, atau Komunitas Intelijen Australia. Di dalamnya termasuk berbagai organisasi.
Organisasi yang kemungkinan besar terlibat dalam penyadapan telepon adalah Australian Security Intelligence Organisation (ASIO), Australian Secret Intelligence Service (ASIS) dan Australian Signals Directorate (ASD, sebelumnya bernama Defence Signals Directorate).
Lembaran-lembaran Power Point yang menjadi sumber pemberitaan tentang skandal spionase mengandung kata-kata Defence Signals Directorate, namun mungkin ada badan lain yang terlibat.
Fokus ASIO adalah pada operasi intelijen domestik, mencari dan mengevaluasi data intelijen yang relevan terhadap keamanan, dan melaporkannya pada pemerintah. Selain itu, ASIO juga mengumpulkan data intelijen luar negeri dari dalam Australia.
Fungsi ASIS dan ASD dijabarkan di Intelligence Services Act 2001. ASIS berkecimpung dalam pengumpulan data intelijen di luar Australia. Fungsinya adalah mengumpulkan, sesuai kepentingan pemerintah, data intelijen tentang kemampuan, kehendak, atau aktivitas orang atau organisasi di luar Australia.
Fungsi ASD juga meliputi data tentang orang-orang atau organisasi di luar Australia, namun datanya didefinisikan sebagai berbentuk tenaga elektromagnetik dan data intelijen sinyal.
Di bawah hukum Australia, ketiga organisasi intelijen ini memiliki kewenangan cukup besar untuk mengumpulkan data. Kebanyakan pembatasan kegiatan mereka dirancang untuk melindungi privasi warganegara Australia, hingga paling berpengaruh pada ASIO.
Sedangkan, pembatasan operasi luar neger ASIS dan ASD terbilang lebih sedikit.
Bagian 11(1) Intelligence Services Act menyatakan bahwa mereka boleh beroperasi hanya didasarkan kepentingan keamanan nasional Australia, hubungan luar negeri Australia,atau kesejahteraan ekonomi nasional, dan hanya bila hal-hal tersebut dipengaruhi oleh kemampuan, kehendak atau kegiatan pihak-pihak di luar Australia.
Sebelum sebuah badan intelijen bisa melakukan kegiatan yang melibatkan pengambilan informasi mengenai seorang warganegara Australia atau memberi dampak langsung bagi seorang Australia, mereka harus diberi kewenangan oleh menteri.
Namun, secara keseluruhan, hukum Australia memperbolehkan ASIS dan ASD menyadap telepon pejabat-pejabat negara lain bila kegiatan tersebut adalah untuk kepentingan Australia.
Menurut Patrick Walsh, pengajar bidang intelijen dan keamanan di Charles Sturt University dan mantan pegawai Lembaga Peninjauan Nasional (Office of National Assessments), kegiatan ASD dilakukan selaras dengan “prioritas pengumpulan data intelijen nasional” yang dirumuskan pemerintah yang berkuasa saat itu.
“Ada sistem check and balance di ASD” jelas Walsh pada ABC Fact Check.
Maka, jika kegiatan pemata-mataan berlangsung bulan Agustus 2009, ASD bisa saja menganggap kegiatan tersebut dilakukan untuk kepentingan nasional, karena dijalankan saat baru terjadi pemboman hotel Ritz-Carlton dan Marriott di Jakarta.
Tiga dari tujuh korban tewas pemboman tersebut berkebangsaan Australia.
Di Indonesia
Indonesia juga hanya memperbolehkan pengawasan warganegaranya sendiri dalam keadaan tertentu. Maka, penyadapan dalam teritori Indonesia oleh agen-agen negara lain kemungkinan besar dianggap ilegal.
Penyadapan dianggap legal di bawah keadaan tertentu. Contohnya, menurut peneliti Herlambang Wiratramen di Universiteit Leiden, Belanda, yang dilakukan oleh KPK saat menyelidiki kegiatan korupsi.
“Pengawasan diam-diam terhadap seseorang hanya bisa dilakukan lembaga penegak hukum yang diberi wewenang, dan dalam situasi tertentu,” jelas Melissa Crouch dari Centre for Asian Legal Studies, National University of Singapore.
“Mengingat tindakan seperti penyadapan hanya diperbolehkan di Indonesia dalam situasi tertentu, amat diragukan hukum Indonesia memperbolehkan tindakan macam itu oleh pemerintah negara lain.”
Hukum Internasional
Fact Check ABC tidak bisa menemukan konvensi atau perjanjian yang secara khusus melarang spionase. Namun, salah satu prinsip hukum internasional adalah penghormatan kedaulatan negara.
Menurut Craig Forcese, Wakil Dekan Fakultas Hukum University of Ottawa, Kanada, spionase bisa melanggar kedaulatan negara yang dimata-matai, bila tindakan tersebut terbilang ilegal di negara yang dimata-matai tersebut.
“Menjalankan program penyadapan dari teritori negara lain dengan melanggar hukum privasi tak ada bedanya dengan menculik seseorang di negara tersebut, dengan melanggar hukum tentang penculikan yang berlaku di sana,” komentarnya.
Meskipun kegiatan memata-matai Indonesia berlangsung dari Australia, tetap saja ada pelanggaran kedaulatan biladilakukan dengan menggunakan alat atau teknik yang ditempatkan di wilayah Indonesia, ucap Forcese.
Profesor Ben Saul dari University of Sydney menyatakan bahwa kegiatan spionase menurutnya merupakan pelanggaran prinsip non-intervensi yang berlaku di bawah hukum internasional. Namun, Alison Pert, dari universitas yang sama, mengatakan bahwa kegiatan spionase kemungkinan tidak dilarang dalam hukum internasional, karena berbagai negara saling memata-matai.
Meskipun penyadapan dilakukan dengan koordinasi dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta, kecil kemungkinan tindakan tersebut memiliki perlindungan hukum yang lebih besar.
Memang konvensi Vienna tahun 1961 tentang relasi diplomatik memberi berbagai perlindungan bagi diplomat dan kedutaan besar, namun diplomat tetap wajib menghormati hukum dan peraturan negara tempat Ia ditempatkan.
Menurut Forcese, “Kegiatan spionase oleh diplomat bisa dibatasi hukum internasional…karena jenis kegiatan memata-matai yang dimaksud tidak termasuk fungsi diplomatik.”
Kesimpulannya
Tidak mudah menyimpulkan apakah kegiatan spionase Australia melanggar hukum atau tidak.
Menurut Fact Check ABC, SBY berlebihan saat menggambarkan status kegiatan spionase di mata hukum secara absolut. Di bawah hukum Australia, kegiatan memata-matai pejabat asing diperbolehkan di dalam keadaan tertentu.
Dalam hal hukum Internasional, pendapat SBY didukung sejumlah ahli hukum. Dalam hal hukum Indonesia, pernyataan SBY benar. []