Radio Autralia Network
Bandung yang pernah menjadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika di tahun 1955 menyimpan segudang sejarah. Pembuktikan sebagai salah satu pelopor penghapusan penjajahan pasca Perang Dunia II menjadi alasan sejumlah mahasiswa asal Australia untuk belajar soal hubungan internasional di kota kembang ini.
“Bandung pernah jadi tuan rumah Konferensi Asia Afrika dan itu menjadi satu gerakan non blok di era perang dingin dan banyak program-program yang melibatkan negara-negara usai konferensi,” ujar Cashal saat ditanya soal alasannya memilih kota Bandung.
Cashal yang mengaku senang makanan Indonesia ini akan mengkaji hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya dalam bidang pertahanan dan militer.
“Yang menjadi perhatian saya adalah hubungan militer antara Tentara Nasional Indonesia dan Australian Defence Force.” ujarnya. “Menarik untuk melihat bagaimana militer Indonesia yang telah mengalami modernisasi dan bagaimana dampaknya di kawasan.”
Cashal memilih Universitas Parahyangan di Bandung, karena reputasinya sebagai salah satu universitas yang menawarkan program hubungan internasional terbaik di kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar enam orang mahasiswa asal Australia lain yang juga sedang belajar di Bandung.
“Dosen-dosennya lulusan luar negeri, ada pula yang berasal dari Australia. Dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. Jadi tidak akan ada terlalu masalah untuk menulis tugas dan skripsi nanti,” jelas Cashal.
Menurutnya juga Bandung adalah kota yang banyak menyimpan sejarah. Gedung-gedung warisan jaman kolonial hingga acara-acara internasional seperti Konferensi Asia Afrika memberikan kesempatan yang lebih luas untuk keperluan penelitiannya.
“Saya juga akan banyak melakukan perjalanan ke sejumlah daerah di kawasan Jawa Barat, dan tentunya ini akan menjadi nilai tambah sendiri untuk bisa belajar budaya lebih banyak soal Jawa Barat,” kata Cashal yang menganggap Joko Widodo (Jokowi) adalah sebagai salah satu pemimpin yang punya kesamaan dengan Bung Karno.
Selama enam bulan Cashal juga akan mencoba untuk belajar bahasa Indonesia dan berharap nantinya ia akan bisa mendapat pekerjaan yang berkaitan dengan hubungan Indonesia dan Australia.
“Sangatlah penting bagi Australia untuk bisa lebih mengedepankan hubungan dengan Indonesia, sebagai negara terdekat. Jadi hal-hal yang tidak relevan dan malah merusak sebaiknya dilupakan saja,” ungkapnya.
Untuk bisa mengikuti studi di Bandung ini, Cashal bergabung dengan program Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies atau ACICIS.
Konsorsium ini terdiri dari lebih dari 20 universitas di Australia dan negara lainnya yang memberi kesempatan para pelajar asal Australia untuk lebih mengenal Indonesia dengan belajar langsung lewat mengunjunginya.
Elena Williams adalah Direktur ACICIS. Wanita asal kota Sydney yang akrab disebut Elie ini sangat fasih berbahasa Indonesia dan pernah menjadi peserta ACICIS di tahun 2005 dan sekarang berkerja di Yogyakarta, kantor pusat kegiatan ACICIS di Indonesia.
“Belajar langsung di Indonesia ini memang menjadi sangat penting bagi Australia karena kita bisa melihat langsung kehidupan warganya. Pada akhirnya kita bisa saling mengenal dan memperluas jaringan di Indonesia sehingga tujuan akhirnya adalah bisa bekerja sama di banyak bidang,” jelas Elie.
Menurut Elie banyak juga alumni-alumni ACICIS yang kini memegang posisi-posisi penting di instansi yang erat kaitannya antara Indonesia dan Australia. Ia pun yakin dengan semakin banyak warga Australia yang belajar soal Indonesia maka hubungan kedua negara akan semakin baik di masa depan.[]
Sumber : www.radioaustralia.net.au