Oleh Muhammad Sutisna, Mahasiswa Ilmu Politik 2011, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 semakin menarik. Partai politik (Parpol) hari ini sudah saling menunjukkan kebolehannya, melalui berbagai macam visi, dan misi yang dimiliki oleh masing-masing partai.
Selain itu parpol pun berlomba-lomba memunculkan tokoh-tokoh terbaik dari masing-masing partainya, bertujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mau memilih partainya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan partai di Pemilu saat ini cenderung lebih memunculkan ketokohan daripada visi misi partai.
Bila berkaca dari Pemilu sebelumnya, pada era reformasi perkembangan demokrasi cenderung dinamis, dan setiap partai mempunyai peluang yang sama untuk menarik simpati masyarakat. Selain itu kecenderungan pemilih juga menjadi salah satu faktor terpenting.
Hari ini partai cenderung bergerak ke tengah, dimana idelogi semakin memudar sehingga partai politik memiliki visi yang sama yakni mencari basis massa untuk mendongkrak elektabilitas partainya (Burhannudin Muhtadi, 2011).
Berbeda dari Pemilu sebelumnya, faktor ideologis-lah yang menjadi dasar pemilih untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Dimana ideologi dari setiap pemilih, menentukan pilihannya. Sebagai contoh, orang yang memiliki ideologi Islam cenderung akan memilih partai berideologikan Islam, dan orang yang berideologi nasionalis, otomatis cenderung akan memilih partai berideologikan nasionalis.
Dalam kurung waktu 5 tahun, pada Pemilu di tahun 1999 dan 2004 faktor ideologis-lah yang masih menjadi penentu sang pemilih dalam menentukan pilihan politik. Namun Pemilu selanjutnya pada tahun 2009, faktor ideologis pun lambat laut meskipun sedikit, masih menentukan pilihan politik dari si pemilih tersebut.
Kecenderungan perilaku pemilih yang terus berubah, menyebabkan semua partai di Pemilu 2014, memiliki tujuan yang sama yakni menarik perhatian masyarakat agar memilih partai tersebut. Hal tersebut menjadi dasar saat ini kenapa partai cenderung bergerak ke tengah, dan memunculkan kader terbaiknya agar bisa menarik simpati masyarakat.
Ditambah lagi dengan kemunculan sosok Jokowi, yang dikenalkan masyarakat melalui media massa.
Berawal ketika kepiawaiannya Jokowi saat memimpin Solo selama satu periode lebih, dan dikenalkannya mobil esemka yang menjadi daya tarik tersendiri, karena menjadi harapan besar bagi Indonesia untuk bisa memproduksi mobil nasional.
Jokowi notabenenya merupakan seorang kader dari partai PDIP, menjadi angin segar tersendiri bagi partainya. Karena berkat citra baik Jokowi partainya pun bisa dikenal lebih intens dimasyarakat. Popularitas Jokowi pun meningkat, sehingga bisa meningkat karirnya di dunia politik.
Hal tersebut terus berlanjut dengan keikutsertaannya Jokowi pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 silam , dengan membawa semangat angin perubahan yang bernama Jakarta Baru. Jargon ini membuat elektabilitas Jokowi pun semakin meningkat di kalangan masyarakat Jakarta khususnya, bersaing dengan incumbent saat itu.
Seakan mustahil bagi Jokowi untuk memenangkan pemilu, terlebih lagi Jokowi pun bukan penduduk asli Jakarta. Dan hal tersebut bisa menjadi alat kampanye bagi lawan untuk menyerang Jokowi. Namun hal tersebut tidak terbukti, melalui 2 putaran Pemilihan yang cukup sengit. Karir politik Jokowi pun meningkat, menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Kepiawaian Jokowi dalam mengatur daerahnya, ketika menjadi walikota solo menjadi faktor utama terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI. Selain itu sikap santun yang dimiliki Jokowi, dan tidak banyak bicara dan menunjukkannya melalui tindakan nyata membuat masyarakat pun tertarik untuk memilih Jokowi.
Dalam teori ilmu politik pun kedekatan emosional dengan masyarakat menjadi kunci terpenting dalam politik, dimana peran tokoh pun semakin besar adanya dan menjadi daya magnet tersendiri bagi masyarakat untuk ikut serta dalam partisipasi politik.
Ketertarikan masyarakat kedalam partisipasi politik menjadi faktor utama terbentuknya model psikologis ini (Mujani, Liddle, dan Ambardi 2011). Lalu setelah ketertarikan itu muncul, dan masyarakat yang ikut serta dalam partisipasi politik pun, mulai menggunakan pilihan rasionalnya dalam menentukan pilihan politiknya (Mujani, Liddle, dan Ambardi 2011). Dan Jokowi pun dianggap sebagai pilihan yang paling rasional yang mereka pilih sebagai pilihan politiknya.
Menjelang pemilu 2014 yang kurang dari dua minggu lagi, popularitas Jokowi pun tidak terbendung. Walaupun kinerja Jokowi di DKI Jakarta baru 2 tahun lebih, dan disinyalir Jokowi, bersama partainya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan isu yang berkembang Jokowi akan naik sebagai Calon Presiden terbukti adanya, pasca Jokowi mendapatkan mandat dari Ketua Umum PDIP, Ibu Megawati.
Hal tersebut menjadi berita buruk bagi partai-partai politik yang juga memunculkan kader terbaiknya untuk maju sebagai calon Presiden, karena popularitas dan elektabilitas mereka kalah jauh dari Jokowi berdasarkan hasil liris survey oleh beberapa lembaga survey bila pemilihan presiden dilaksanakan hari ini.
Mencermati sejumlah lembaga survey maka kemungkinan besar Jokowi akan mudah memenangkan arena pemilihan presiden tersebut.
Tidak terbendungnya popularitas Jokowi dikalangan masyarakat, membuat beberapa partai politik panik. Sehingga hanya ada dua pilihan bagi beberapa partai politik, yakni berkoalisi dengan Jokowi yang notabenenya sebagai kader PDIP, atau meningkatkan popularitas tokoh, dan partainya. Pilihan pertama menjadi pilihan yang cukup realistis yakni berkoalisi dengan Jokowi atau PDIP.
Fenomena munculnya Jokowi dipermukaan publik, menjadi pelajaran tersendiri bagi partai politik untuk lebih serius dalam membina kadernya. Adanya Jokowi pun tidak lain melalui proses kaderisasi yang dijalankan dengan baik oleh PDIP, sehingga bisa melahirkan tokoh seperti Jokowi, dan masih banyak kader- kader partai berlambangkan banteng, yang memiliki integritas bagus. Manajemen kaderisasi, dan manajemen pemasaran menjadi modal terpenting bagi setiap partai dalam menghadapi setiap pemilu.
Bila seorang kader politik memiliki integritas yang mumpuni, otomatis manajemen pemasaran akan berfungsi untuk meningkatkan popularitas dari tokoh tersebut. Meningkatnya popularitas tokoh, otomatis berdampak positif bagi partai. Dan juga sebaliknya, menurunnya popularitas dan elektabilitas tokoh otomatis partai pun terkena imbasnya. Di zaman politik rasional seperti ini masyarakat cenderung kritis, dan bisa menilai secara abstrak menilai perilaku para pelaku politiknya. Dan hal sekecil apapun yang dilakukan partai dapat mempengaruhi pilihan masyarakat. Posisi partai pun dituntut untuk lebih meningkatkan kinerjanya, bukan hanya janji belaka.[]