Ahmad Fauzan Sazli

YOGYAKARTA, KabarKampus – Max Weber, ilmuwan Jerman pada tahun 1919 pernah mengatakan, politisi sebaiknya bukan pencari kerja, tetapi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Dalam kondisi normal politisi harus mandiri secara ekonomi dari pendapatan politik yang didapatnya.
Prof. drg. Etty Indriati, Ph.D, pakar Paleoantropologi UGM, mengatakan paparan Weber tersebut masih relevan dengan kondisi politik di Indonesia saat ini. Apabila calon legislatif yang ada saat ini terdiri dari pencari kerja, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadikan posisinya sebagai mata pencarian.
“Maka risiko penyalahgunaan wewenang untuk meraih pendapatan finansial untuk diri sendiri semakin besar. Akibatnya, kepentingan umum dikorbankan,” kata Etty dalam bedah buku ‘Pola dan Akar Korupsi’ di ruang Audit Pertamina Tower, FEB UGM, Jumat (04/04/2014).
Etty mengungkapkan, korupsi annggota parlemen sudah bukan rahasia umum lagi. Hal ini juga marak terjadi di berbagai Negara.
Menurut Ety, berdasarkan kajian ilmu paleoantropologi, pola korupsi yang dilakukan para koruptor tak ubahnya struktur sosial tribe, evolusi peradaban manusia di masa lampau, pemerintahan dibentuk berbasis keluarga sanak saudara.
Seperti yang terjadi saat ini, koruptor dan politisi membangun kekuasaan melalui mekanisme kekerabatan meski hidup di negara modern.
“Mereka hidup seolah di abad pertengahan,” kata Etty yang sekaligus menjadi penulis buku tersebut,
Untuk memutus rantasi kekerabatan perilaku korupsi ini, menurut Etty, Negara perlu mengaturnya dengan tegas. Seperti di Australia, kecil sekali ditemukan praktik korupsi karena negara berhasil memutus mata rantai kekerabatan itu.
Namun cara yang paling efektif untuk memberantas korupsi menurut Etty adalah dengan memiskinkan para koruptor, tidak cukup dengan memberikan hukuman karena ditengarai tidak memberikan efek jera.
“Hukuman empat atau lima tahun itu sangat ringan,” katanya.[]