ABC AUSTRALIA NETWORK
Kasus kekerasan terkait pengelolaan lingkungan dan perampasan lahan meningkat tajam di kawasan Asia Pasifik, demikian kesimpulan laporan terbaru organisasi pemerhati transparansi pengelolaan lingkungan, Global Witness.
Organisasi nirlaba ini mengatakan antara kurun waktu 2012 hingga 2013, setidaknya ada 908 orang yang terbunuh di 35 negara di dunia ketika berupaya melindungi hak atas tanah dan lingkungan.
Brasil merupakan Negara yang menempati urutan tertinggi sebagai negara paling berbahaya bagi pembela hak atas tanah.
Sementara di kawasan Asia Pasifik, aktifis lingkungan di Philipina disebut sebagai yang paling beresiko menjadi korban kekerasan.
“Philipina muncul sebagai negara yang paling parah terdampak di kawasan Asia Pasifik, ada lebih dari 67 kasus pembunuhan selama kurun waktu setahun terakhir yang kami monitor,” kata Oliver Courtney, Juru Kampanye Senior Global Witness di London.
Kepada Radio Australia Asia Pasifik, Courtney mengatakan bahwa kebanyakan kasus pembunuhan itu terkait dengan sektor pertambangan, terutama di kawasan yang terdapat perlawanan terhadap aktifitas perusahaan tambang.
Menurutnya ditengah sikap pemerintah yang tengah menggenjot pendapatan dari sektor pertambangan, keterbukaan informasi mengenai pengelolaan bisnis pertambangan sangat dibatasi.
“Transparansi mengenai apa yang terjadi di sektor pertambangan sangat kecil, seperti informasi apakah warga lokal yang tinggal dilokasi area pertambangan sudah dikonsultasikan atau belum, apakah biaya sosial dan lingkungan dari pembukaan pertambangan itu juga sudah dipertimbangkan sebelumnya,” kata Courtney.
“Sangat sedikit informasi mengenai siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dibalik kasus pembunuhan tersebut,” tambahnya.
“Dalam kebanyakan kasus dalang dibalik pembunuhan itu juga tidak pernah terungkap,’ ungkapnya prihatin.
Laporan yang dirilis Global Witness ini memantau kasus pembunuhan aktifis lingkungan yang terjadi antara tahun 2002-2013.
Dari hasil monitoring ini ditemukan kalau kasus pembunuhan ini meningkat karena dipicu adanya tekanan antara ketersediaan sumber daya alam dengan kebutuhan suplai dari banyak Negara di dunia.
“Kami pikir masalah ini semakin tidak ketahuan dan makin sering lolos dari jerat hukum karena pemerintah gagal memonitor ancaman terhadap lingkungan dan aktivis lahan, pemerintah juga gagal untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan lingkungan, “katanya.
Di wilayah Asia Pasifik, Courtney menyalahkan kuatnya pengaruh elit kecil.
“Kami melihat elit kecil seringkali menjual tanah, hutan dan sumber daya lainnya melalui transaksi rahasia dengan perusahaan besar. Padahal wilayah itu masuk dalam pengelolaan negara sepenuhnya dan terutama banyak dikelola oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya, “ paparnya.
“Seringkali penduduk setempat yang mendiami kawasan itu tidak menikmati manfaat dari kehadiran perusahaan yang mengelola kawasan mereka, bahkan mereka justru kehilangan tanah mereka dan sering kali digusur paksa.”
Pengumpulan data ini dipicu oleh kasus pembunuhan aktifis hutan Kamboja dan pegawai Global Witness, Chut Wutty. Dia ditembak mati oleh polisi ketika menyelidiki pembalakan liar di Kamboja.
Pemerintah propinsi membatalkan tuduhan pembunuhan atas kematian aktifis tersebut.[]