More

    Palestina dan Sastra Perlawanan

    Oleh: Dina Yulianti*

    Dewan Juri Palestine Prize, Dina Yulianti dari Asia Tenggara (nomor tiga dari kiri). (ist)

    Dalam artikel akademik yang berjudul “Literature as Resistance” (Sastra sebagai Perlawanan), Ramyabrata Chakraborty (2020) menulis kalimat pembuka seperti ini, “Sastra dapat dilihat sebagai akses ke ruang-ruang yang melampaui penggalian intelektual pamungkas yang dapat mendramatisasi kematian-rasa kita, ketaklukan kita dalam sebuah tindakan perlawanan.” Selanjutnya, Chakraborty membahas karya Mahasweta Devi di mana tokohnya, seorang perempuan bernama Dhouli berproses menjadi suara perlawanan di tengah masyarakat yang dihegemoni laki-laki.

    Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam karya sastra perlawanan (resistensi) menjadi sumber inspirasi yang mampu menggerakkan banyak orang untuk bangkit menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di sekitar mereka. Karya sastra perlawanan menyampaikan kritik atau menyuarakan suara kaum subaltern, sehingga kemudian membawa kita ke ruang-ruang yang jauh, menggerakkan nurani untuk melakukan apapun yang kita bisa.

    - Advertisement -

    Sejak tahun 1948 hingga hari ini, bangsa Palestina masih mengalami Al Nakba, yaitu bencana pengusiran dan pembunuhan yang dilakukan oleh rezim Zionis. Suara mereka sering diabaikan, terbenam di antara tsunami informasi atas berbagai isu atau konflik lainnya yang tak pernah usai. Misalnya, selama perang Suriah 2012-2017, perhatian publik disibukkan oleh berita soal “jihad” sehingga Israel seolah dibiarkan membombardir Gaza; seperti yang terjadi di tahun 2014 ketika Israel mengebom Gaza selama 50 hari. Sebanyak 2.251 orang Gaza tewas dan 11.231 terluka. Menggaungkan suara kaum subaltern (kaum yang teropresi) di Palestina, menjadi sangat penting dilakukan.

    Karya sastra juga memiliki fungsi ‘mimetik’, yaitu peniruan atas realita. Dengan karya sastra, kita bisa membayangkan, berempati, dan bersolidaritas atas kondisi tokoh atau orang-orang yang ada di dalam karya tersebut. 

    Mari kita simak fragmen singkat berikut ini.

    Suasana Ardallah, sebuah kota wisata di Palestina, siang itu terasa kelabu. Halaman kafe Fardous penuh dengan orang-orang dan radio dibunyikan dengan volume penuh. Terdengar musik mengalun. Mereka semua menantikan berita tentang Sidang Umum PBB yang akan menentukan nasib mereka. 

    Tiba-tiba musik berhenti dan terdengar suara penyiar, “PBB telah mengesahkan resolusi terhadap pembagian Palestina.”

    Orang-orang tercekat seakan-akan ada orang yang memasang tali gantung ke leher mereka.

    Penyiar meneruskan, “Kota suci Jerusalem dan sekitarnya menjadi hak internasional. Mandat Inggris akan berakhir dan Inggris akan pergi Agustus mendatang.”

    “Gila!” Yousif mendengar Salman berseru di belakangnya..

    Kejadian di atas adalah kutipan dari novel My Salwa, My Palestine karya penulis Palestina, Ibrahim Fawal. Kita bisa membayangkan, momen pengumuman Resolusi 181 tahun 1947 bagi orang-orang Palestina. Di New York, para politisi elit dunia telah membuat keputusan yang memunculkan penderitaan bagi mereka hingga hari ini, 70 tahun kemudian.

    Diceritakan di novel itu, pasca resolusi 181, Yousif dan keluarganya serta seluruh penduduk Arab di Ardallah diusir dari rumah-rumah mereka oleh pasukan Zionis dan orang-orang Yahudi yang semula tetangga mereka sendiri. Rumah besar yang nyaman yang dihuni Yousif dan keluarganya, terpaksa ditinggalkan begitu saja. Mereka menempuh perjalanan kaki yang sangat jauh, terpencar-pencar satu sama lain, sebagian jatuh sakit dan meninggal, lalu akhirnya menetap di pengungsian.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here