Oleh: Mikhail Adam*
Jejak sejarah menghadirkan yang unik, ajaib, sekaligus ragam makna di dalamnya. Itu termuat dalam kota bernama Alexandria. Kota yang didirikan oleh Alexander The Great, raja yang berambisi menaklukkan dunia. Kota ini berada di bibir Laut Mediterania, di sebuah kota kecil Mesir yang disebut Rhacotis. Berada di jalur laut penghubung antar regional membuatnya menjadi pusat perdagangan dan melting pot. Tempat pertemuan dunia Timur dan Barat. Menandai pencampuran budaya Mesir dan Yunani.
Alexandria merupakan prasasti sejarah peradaban manusia, dengan kelimpahan makna dan pelajaran. Bagi kemajuan seni budaya dan ilmu pengetahuan. Jika Alexandria bagaikan mozaik yang indah dan spektakuler, di antara itu terdapat sekeping yang menawan dan bercahaya. Kisah fenomenal itu datang dari seorang filsuf perempuan, sosok yang terlampau modern bagi zamannya: Dia adalah Hypatia.
Hypatia hidup ketika kebudayaan Yunani disebarluaskan ke berbagai kawasan dunia, globalisasi kebudayaan Yunani, atau zaman yang disebut Hellenisme. Hypatia lahir tahun 355 SM dari keluarga yag menggemari ilmu pengetahuan. Ayahnya Theon adalah seorang Matematikawan sekaligus pengajar Universitas Alexandria. Theon merupakan penulis tafsir teori Matematika Euclid. Theon mendidik Hypatia dengan belaian ilmu pengetahuan, mengajak putrinya untuk memberikan tanggapan atas karya-karya matematika dan astronomi. Bertolak belakang dengan didikan untuk kaum wanita di era lampau yang berfokus merawat anak kecil, merawat orang sakit, dan menyiapkan makanan. Hypatia tumbuh dengan ilmu pengetahuan. Dengan kecintaan terhadap filsafat.
Seperti buah jatuh yang tak jauh dari pohonnya. Hypatia mengikuti jejak sang Ayah menjadi ilmuwan. Ia ditempa dalam diskursus filsafat Yunani, belajar di sekolah filsafat Athena. Ia adalah penerus tradisi filsafat neoplatonisme, kelanjutan diskursus filsafat Yunani yang dibangun lewat diskursus sengit, yang paling fenomenal adalah diskursus pemikiran Plato dan Aristoteles. Aliran neoplatonis merajut matematika, metafisika, dan spiritual dalam menjejakkan pandangan dunia. Sekembali dari belajar di Athena, ia menjadi pengajar di Universitas Alexandria, mengajar filsafat, matematika, dan astronomi. Pada eranya, Sains baru memuai, dan Hypatia adalah orang yang membuat lompatan dalam dunia ilmu pengetahuan, utamanya dalam emansipasi perempuan.
Ia melahirkan karya penting di antaranya, Astrolabe, Planesphere, dan Hydroscope. Penemuan untuk mengukur alam atau kalkulator astronomi, setara dengan teleskop canggih di era kini.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Satu hal yang sulit saya cerna: disebutkan bahwa Hypatia lahir tahun 355 SM. Kemudian ditulis juga bahwa ia mengkritik formalisme agama untuk kepentingan politik, ketika agama kristen tumbuh sebagai kekuatan politik.
Oh, tahun 355 SM sudah ada agama kristen?