More

    Tan Malaka Corner

    Oleh: Iswadi Syahrial Nupin*

    Tan Malaka di Belanda, 1922 (KITLV via nationalgeographic.grid.id)

    Tidak semua tahu siapa Tan Malaka dan sepak terjangnya pra dan pasca kemerdekaan. Ia adalah seorang pejuang revolusioner. Tan Malaka memiliki nama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Beliau dilahirkan di Pandan Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Namun kapan pasti tanggal kelahirannya tidak ada yang tahu. Ada yang menyebutkan tahun 1894 atau 1897. Ia wafat di Selopanggung, Kediri pada tanggal 21 Februari 1949.

    Kematian Tan Malaka penuh kontroversi. Ada yang menyebutkan ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka, Tan Malaka memplokamirkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Karena dianggap tidak sesuai dengan “aspirasi” tentara maka ia pun dibunuh. Ada pula yang menyebutkan bahwa Tan Malaka tidak ingin penyelesaian kedaulatan Indonesia dengan Belanda diserahkan melalui meja perundingan. Dianggap “mengganggu” proses diplomasi antara Indonesia dengan Belanda, maka ia pun dilenyapkan. 

    - Advertisement -

    Tan Malaka ditetapkan sebagai pahlawan nasional Republik Indonesia pada tanggal 23 Maret 1963 melalui Keputusan Presiden No.53 Tahun 1963. Meskipun telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional namun apa pun yang berkaitan dengan Tan Malaka seperti pemutaran film, seminar dan berbagai diskusi masih dilarang/dihadang di berbagai tempat, tak terkecuali di tanah kelahirannya ranah minang,

    Pada tahun 2018, pemutaran film Maha Guru Tan Malaka yang diinisiasi oleh Komunitas Shelter Utara di Padang dibatalkan karena adanya intimidasi pihak tertentu. Padahal film tersebut didak mengandung pesan ideologi apapun. Film tersebut hanya bercerita tentang kisah putra Minangkabau tersebut di Belanda. Setelah melalui berbagai dinamika, akhirnya pada tanggal 21 April 2018 film tersebut berhasil diputar di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Padang dengan jumlah penonton terbatas. 

    Maha Guru Tan Malaka adalah film dokumenter karya Daniel Rudi Haryanto. Film ini diproduksi dengan bantuan dana Rp.175 juta dari Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Film ini menceritakan jejak riwayat pahlawan nasional Tan Malaka lewat perspektif Marko, lulusan sekolah drama Paris yang pergi ke Belanda menemui sejarawan Harry A Poeze. Film ini pernah diputar di sejumlah tempat, seperti Malang dan Jakarta. Sebelum di Padang, pelarangan pemutaran film Maha Guru Tan Malaka terjadi di Semarang. 

    Kalau intimidasi/pelarangan berbagai kegiatan literasi tentang Tan Malaka dikaitkan dengan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme, tentunya tidak tepat. 

    Pertama, Tan Malaka tidak terlibat dengan Gerakan 30 September 1965 (G30S); Kedua, Partai yang didirikan Tan Malaka adalah Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) bukan PKI. PKI yang muncul pasca Pemberontakan Madiun 1948 adalah PKI bentukan Aidit-Sudisman-Nyoto. Tan Malaka sendiri telah keluar dari PKI sejak gagalnya Pemberontakan PKI yang terjadi di Batavia (1926) dan Silungkang (1927). Ide Tan Malaka tak pernah digubris oleh Komintern (Komunis Internasional) sebagaimana disampaikan pada Kongres ke-4. Saat itu Tan Malaka mengusulkan agar gerakan komunis bersatu dengan Pan-Islamisme karena sama-sama menentang penjajahan.

    Ketiga, Murba lebih dahulu dibubarkan sebelum peristiwa 30S 65 terjadi, karena dituduh menerima uang USD 100 juta dari CIA untuk menggulingkan Presiden. Karena tak terbukti, pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.

    Berbagai pelarangan yang terjadi kemungkinan kurangnya literasi tentang tokoh Tan Malaka. Orang hanya tahu Tan Malaka itu termasuk “sesepuh” PKI yang dari segi senioritas setara dengan Semaun, Alimin dan Dharsono. Ia dianggap tidak pernah keluar dari PKI. Padahal ini sebenarnya terbantahkan oleh fakta ketika Tan Malaka mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) bersama Jamaluddin Tamin dan Subakat di Bangkok, Thailand pada tanggal 1 Juni 1927. 

    Disamping kurangnya literasi, rezim orde baru “memukul rata” semua orang yang menggunakan filsafat marxisme sebagai ilmu dan analisis sosial sebagai PKI. Kalau demikian menurut penulis sebaiknya diharamkan saja mengkaji filsafat marxisme di kampus-kampus seluruh Indonesia.

    Sebagai intelektual sebaiknya kita berdamai dengan sejarah. Hitam putihnya Tan Malaka harus dipublikasikan secara terbuka agar generasi masa depan tahu apa legasi yang ditinggalkan Tan Malaka. Tak banyak yang tahu bahwa Bung Karno ditangkap Belanda karena memiliki buku Massa Aksi karya Tan Malaka. Tulisan-tulisan Bung Karno tahun 1929 banyak dipengaruhi pemikiran Tan Malaka. Bagi penulis, Tan Malaka adalah penganut ideologi nasionalis menurut “mazhab”-nya sendiri. 

    Urgensi Pendirian Tan Malaka Corner (TMC) di Perpustakaan Unand

    Sebagai Pustakawan, penulis resah dengan kondisi rendahnya literasi tentang Tan Malaka ini. Penulis mencoba sharing informasi dengan Virtuous Setyaka, Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas. Kami berdiskusi melalui Whatsapp karena tak ada kesempatan untuk bertemu. Dari ngalor ngidul itu, Virtuous Setyaka berpendapat seyogianya di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Universitas Andalas (Unand) dapat dibuat Tan Malaka Corner (TMC).

    Diharapkan dengan adanya TMC, sivitas akademika melek literasi tentang Tan Malaka dan perjuangannya demi kemerdekaan bangsanya. Kalau memang TMC ini terwujud ada baiknya diisi dengan kegiatan pemutaran film, seminar, diskusi dan bedah buku serta lomba menulis esai tentang Tan Malaka.

    Sepengetahuan penulis, corner dengan nama tokoh hanya ada di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dilansir dari situs Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga Corner diresmikan oleh Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Dra. Labibah Zain, MLIS. Sunan Kalijaga Corner yang kini telah resmi menjadi bagian layanan perpustakaan ini dirancang oleh pihak perpustakaan bekerja sama dengan Prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga.

    Layanan Corner sebenarnya sebuah layanan yang disediakan Perpustakaan yang koleksinya adalah koleksi khusus, baik itu berupa koleksi buku atau non buku. Di UPT. Perpustakaan Unand, keberadaan layanan corner ini diawali dengan kerjasama. Misalnya, Minangkabau Corner. Layanan Corner ini wujud atas kerjasama antara Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau dengan UPT. Perpustakaan Unand. Demikian juga dengan American Corner dan French Corner yang terbentuk karena kerjasama Dosen Unand yang juga alumni Amerika Serikat atau Prancis dengan pihak Kedutaan Amerika Serikat dan Prancis. Koleksi Minangkabau Corner umumnya koleksi yang berkaitan dengan bahasa, sastra dan adat Minangkabau. Sedangkan American dan France Corner menyediakan koleksi sejarah dan fiksi yang berkenaan dengan Amerika Serikat dan Prancis.

    Layanan Corner juga dapat dikatakan sebagai layanan penunjang. Adanya layanan ini setidaknya meningkatkan jumlah pengunjung UPT. Perpustakaan Unand apalagi kalau pada layanan corner tersebut terdapat event seperti pemutaran film atau workshop, misal yang berkaitan dengan e-Library USA. 

    Pendirian Tan Malaka Corner (TMC) sejatinya merupakan sarana pembelajaran bagi sivitas akademika yang memiliki minat mengkaji Tan Malaka baik yang berkaitan dengan filsafat, pendidikan dan gerakan sosial politik. TMC seyogianya juga menyediakan magnum opus Tan Malaka dan juga koleksi fiksi dan non fiksi, baik buku atau non buku yang berkaitan dengan Tan Malaka. 

    Magnum opus Tan Malaka seperti Gerpolek, Massa Aksi, dan Madilog masih jarang dikaji sivitas akademika. Gerpolek adalah perpaduan dari tiga perkataan yakni gerilya, politik dan ekonomi. Gerpolek lebih tepat disebut buku strategi dan taktik militer. Jenderal Sudirman menyebutkan buku ini strategi militer untuk mencapai kemerdekaan 100 persen. Sedangkan Massa Aksi sebenarnya merepresentasikan satu aksi terencana yang berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politiknya. Wujud massa aksi tersebut adalah boikot, mogok dan demonstrasi.

    Madilog merupakan akronim materialisme, dialektika dan logika. Meskipun Madilog didasarkan pada Marxisme, ia tidak mengimplementasikan pandangan Marxis atau mencoba untuk membangun pola budaya berdasarkan Marxisme. Madilog adalah murni perspektif nasionalis Tan Malaka dengan cara dipengaruhi oleh dialektika Hegel, materialisme Feuerbach, pandangan Marx tentang alasan ilmiah, dan positivisme logis.

    *Penulis adalah Pustakawan Muda Universitas Andalas

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here