Rakhmat Abril Kholis*
Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli nanti bukan lagi sekadar arena tuk mempertarungkan gagasan lewat penyampaian visi dan misi pencalonan, melainkan lebih dari itu. Pilpres kali ini telah mampu menggiring seluruh komponen masyarakat dan perhatian dunia pada situasi yang jauh dari terkaan. Fenomena yang tak mampu diterangkan lewat untaian-untain teori politik yang sering diajarkan. Fenomena yang seakan membisikkan ke telinga kita bahwa katamu kini tak seperti apa yang terjadi nanti.
Inilah gambaran perpolitikan bangsa kita kini. Perpolitikan yang saya istilahkan seperti halnya mencari bola salju di tengah hutan. Berharap ada peluang mendapatkan, malah habis diterkam Singa si Raja Hutan. Situasi inilah yang hampir terus menggurui seluruh aktivitas kita. Makan, perbincangan, pekerjaan, bahkan ketika santaipun politik selalu hinggap menjadi santapan.
Jika kita kaji dalam tataran sosiologis praktis, fenomena politik tak dapat dielakkan dari adanya aktivitas merayu, mengajak, melawan, mengadakan aksi, ataupun menggiring opini tuk mendapatkan dukungan. Ya, inilah yang kita namakan ‘Kampanye’. ‘Kampanye’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai “Gerakan (tindakan) serentak (untuk melawan, melakukan aksi, dsb); kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen dsb untuk mendapat dukungan massa pemilih di suatu pemungutan suara.”
Ada 3 hal yang dapat dijadikan bahan kajian atas defisini tersebut. Melawan, memperebutkan kedudukan, dan mendapat dukungan. Ketiga hal inilah yang menjadi dasar perjuangan para aktor politik terlebih pada Pilpres kali ini.
Aktivitas politik sering saya samakan dengan pengistilahan ‘Hankamrata’ (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta) pada militer. Melibatkan seluruh komponen rakyat Indonesia. Dikarenakan sifat politik di Indonesia yang memang kental dengan tarikan garis sosial ideologisnya, maka tak menjadi heran lagi bahwa ada peran-peran aktor dominan yang mampu dijadikan patokan, target, dan panutan bersama. Ada dua aktor yang menarik untuk disimak kini. Geliat Kyai dan Jenderal dalam merekonstruksi gaya perpolitikan dan menjadi alat kampanye para punggawa di negeri ini.
Sungkeman, wejangan, perintah, fatwa, hingga deklarasipun dilakukan kedua aktor ini dan menjadi perhatian banyak mata dunia. Bagaimana kita lihat adanya kubu-kubu mantan Jenderal yang berada di belakang para calon Presiden kita sekarang hingga selipan dukungan Ulama serta Kyai pesantren yang kunjung berdatangan. Mereka seakan bermain indah dalam situasi kampanye ‘sakral’ ini. Atas nama lembaga, atas nama garis jabatan, dan atas nama kepentingan semua dikorbankan.
Menelisik pada fenomena ini, maka satu hal yang harus terus kita pertegas bahwasanya peran Kyai dan Jenderal adalah dua peran yang mampu kita katakan sebagai landasan kuat kokohnya negeri ini. Hanya politik bijaklah jawabannya. Kampanye cerdas nan santun, tanpa embel-embel penghinaan, provokasi, dan propaganda yang hanya berakhir pada perpecahan. Dua aktor ini seyogyanya memegang peran ‘sakral’ indahnya masa kampanye Pemilu Presiden kali ini. Walau beda kepentingan, namun atas nama keutuhan, sila ketiga dari Pancasila yakni “Persatuan Indonesia” harus terus diutamakan.
* Mahasiswa HI UIN Jakarta Semester 4, Ketua Umum KAMMI MedSos UIN Jakarta, Peneliti Center for Information and, Development Studies (CIDES), Direktur Utama Indonesia Madani