Berlangsungnya debat antar calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia dinilai positif oleh beberapa kalangan warga Indonesia yang tinggal di Australia.
Munculnya materi yang diperdebatkan mulai dari masalah ekonomi, sosial, hukum dan politik diharapkan mendorong warga Indonesia lebih fokus ke masalah substansi, dan mengurangi berbagai kampanye hitam.
- Advertisement -
Pendapat tersebut disampaikan oleh Deni Ridwan, seorang kandidat doktor di Universitas Victoria di Melbourne menanggapi debat capres di bidang ekonomi hari Minggu (15/6/2014).
“Debat ini adalah proses sehat untuk warga Indonesia. Ide-ide yang muncul paling tidak bisa mengurangi kampanye hitam yang kita lihat muncul di sosial media dari kedua kubu ataupun pendukung dari kedua kubu,” kata Deni Ridwan kepada wartawan ABC L. Sastra Wijaya.
Mengenai materi yang disampaikan kedua capres, Deni mengatakan masing-masing pihak memiliki kelebihan dan kekurangan.
“Menurut saya, kandidat nomor satu lebih kuat dalam penyampaian strategi jangka panjang, secara makro, bagaimana desain Indonesia ke masa depan. Sementara kandidat nomor dua berbicara sesuai dengan pengalamannya sebagai walikota dan gubernur, jadi bicara mengenai ekonomi mikro,” kata Deni yang sebelumnya adalah staf di Kementerian Keuangan di Jakarta.
“Secara pribadi, sebagai orang yang belajar ekonomi, saya lebih menyukai yang bicara lebih jelas mengenai strategi,” tambah Deni.
Sementara itu, Alex Senaputra PhD yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Universitas Curtin, Perth, mengatakan debat antara Jokowi dan Prabowo lebih menarik dibanding debat capres putaran pertama.
“Jokowi menunjukkan pengalamannya sebagai kepala daerah yang memiliki hands-on experience dengan fokus pengaturan ekonomi rakyat kecil, seperti: manajemen pasar, industri kreatif anak muda (seni, busana dan yang lainya ) serta usaha kecil menengah,” jelasnya.
“Di lain pihak visi misi ekonomi Prabowo sebenarnya terdengar tidak jauh berbeda dari yang telah dicanangkan oleh pemerintah saat ini. Pembangunan infrastruktur besar-besaran tidak terdengar berbeda dari program MP3EI (MasterplanPercepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia) yang ada sekarang,. Begitu juga dengan pemberian dana 1 miliar rupiah minimal per desa (yang UU-nya baru dikeluarkan),” kata Alex Senaputra yang sekarang memulai karirnya di Amerika Serikat.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya Malang yang sekarang sedang melanjutkan pendidikan doktornya di Universitas Adelaide, Dias Satria, juga menyoroti perdebatan capres soal ekonomi kreatif.
“Sebuah ekonomi kreatif memiliki tujuan yang sangat baik, namun jika tidak dibarengi dengan kebijakan melindungi hak cipta serta penegakan hukumnya maka tidak akan berkelanjutan,” kata Dias Satria.
“Ekonomi kreatif cukup seksi untuk menjadi isu pembicaraan ekonomi lokal, namun tidak semua wilayah Indonesia memiliki daya saing dalam sektor tersebut. Bandung adalah salah satu barometer dan icon yang tepat untuk dijadikan contoh konkrit ekonomi kreatif. Yaitu bagaimana sebuah temuan riset (dunia pendidikan), kreatifitas dan supportgenerasi muda dan policy pemerintah dapat menjadi sebuah daya saing dan lompatan ekonomi yang mampu memberikan daya saing ekonomi lokal,” tambah Dias Satria.
Sementara itu, Gideon Kusuma, seorang pengusaha di bidang properti asal Indonesia di Melbourne namun juga masih memiliki bisnis di Surabaya dan Jakarta mengatakan bahwa isi debat capres masih terlalu luas dan tidak menukik ke dalam dengan berbagai rincian yang bisa dijadikan pegangan untuk memilih mana yang lebih baik bagi kalangan bisnis.
“Dalam debat disebutkan bahwa Indonesia bisa mencapai pertumbuihan ekonomi 7 persen. Namun tidak dijelaskan bagaimana untuk mencapai semua itu, apakah dari peningkatan konsumsi, atau kenaikan pajak atau yang lain. Bagi kita sebagai pengusaha, kita lebih tertarik dan memang ingin tahu soal rincian tersebut,” kata Gideon.
Namun terlepas dari itu semua, Gideon melihat bahwa Jokowi lebih bagus karena mantan walikota Solo ini sudah pernah menjalankan kebijakan ekonomi, walau dalam skala yang lebih kecil.
“Persoalannnya adalah apakah dia bisa melakukannya dalam skala besar,” kata Gideon Kusuma.[]