More

    Mahasiswa Australia Soroti Kampanye Hitam di Pilpres 2014

    Iffah Nur Arifah

    Gizam Nur Han salah satu mahasiswa asal Deakin yang sedang berada di Australia. (Photo: Iffah Nur Arifah)
    Gizam Nur Han salah satu mahasiswa asal Deakin yang sedang berada di Jakarta. (Photo: Iffah Nur Arifah)

    Sekelompok mahasiswa asal Australia di Jakarta memandang penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014 di Indonesia sangat semarak.  Mereka terkejut dengan maraknya praktek kampanye hitam dalam Pilpres kali ini.

     Belasan orang mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional dari Universitas Deakin Australia, pekan ini berada di Jakarta. Mereka tengah melakukan program magang internasional selama dua pekan di Jakarta dan Jogjakarta.

    Setibanya di Jakarta, rombongan mahasiswa Australia ini langsung disuguhkan dengan maraknya spanduk dan poster kandidat presiden dan wakil presiden yang bertebaran di sepanjang jalan. Tidak itu saja, mereka mengaku sangat kagum dengan keragaman pendapat warga Indonesia mengenai pilpres 2014.

    - Advertisement -

    “Di Jakarta semua orang tampak sibuk apalagi sebentar lagi Pilpres, kami lihat spanduk dan poster capres dimana-mana, soal pilpres juga diberitakan di TV setiap hari, sangat menarik melihatnya,” kata Zacharias McCullogh, salah seorang mahasiswa.

    Mereka umumnya mengaku baru pertama kali berkunjung ke Indonesia. Pengetahuan mereka mengenai politik nasional Indonesia juga sangat terbatas. Namun berada tepat di jantung ibukota ketika situasi politik memuncak menjelang pilpres 2014 membuat mereka langsung belajar banyak tentang pemilu di Indonesia.

    Dkegiatan kunjungan ke Kantor Perwakilan ABC di Jakarta, para mahasiswa antusias bertanya seputar Pilpres 2014 kepada koresponden ABC Biro Jakarta.

    Kampanye hitam

    Salah satu yang menarik perhatian para mahasiswa Australia ini adalah marak dan terang-terangannya kampanye hitam dalam pilpres di Indonesia kali ini.

    “Kampanye hitam atau smear campaign bukan konsep asing, itu terjadi juga di Australia. Tapi khusus di Indonesia menjadi sangat menarik karena begitu terang-terangan dan dituangkan dalam beragam bentuk,” kata Gizem Nur Han.

    “Apalagi masyarakat Indonesia tampaknya sangat percaya dan hal itu mempengaruhi penilaian mereka dalam memberikan dukungan kepada kandidat, bukan berdasarkan pada ukuran siapa yang lebih baik dan dapat membuat kemajuan,” tambahnya.

    Di Australia, menurut Nur Han, kampanye hitam juga terjadi dan memiliki pengaruh. Tapi secara demografis pemilih di Australia yang memiliki tingkat pendidikan cukup baik, membuat mereka lebih melihat pada sisi kebijakan yang ditawarkan kandidat.

    Sementara itu Zacharias Mccullogh mengaku pemilih Australia juga umumnya sangat bersikap individual mengenai pilihan.

    “Setiap orang berpihak pada siapa yang mereka suka, dan jika mereka sudah suka maka mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan kubu lainnya,” ujarnya.

    Sangat disesalkan

    Sementara itu Pengajar Kajian Asia Tenggara di Pusat Riset Asia, Universitas Murdoch, Australia Barat, Profesor David T. Hill menilai maraknya kampanye hitam yang mewarnai pelaksanaan pemilu presiden 2014 kali ini sangat disesalkan.

    “Patut dikhawatirkan kampanye hitam begitu agresif dan menyimpang dari kode etika media dan begitu kejam dalam memojokkan tokoh politik yang bertarung,” kata Prof. Hill.

    Prof. Hill yang juga pengamat media mengatakan kampanye hitam ini sebagai gejala yang patut disesalkan. Sebab, jika cara ini terus diperkuat dan menjadi unsur kebiasaan dalam pemilu dan pilpres di masa depan, maka dampaknya akan sangat negatif terhadap dunia politik Indonesia.

    “Jika unsur menjelek-jelekkan secara pribadi seperti ini diutamakan daripada berdebat mengenai ideologi politik, konsep dan kebijakan, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat Indonesia dan kualitas pemimpin yang dihasilkan pada umumnya,” jelasnya.

    Padahal menurut Prof. Hill, pilpres kali ini sangat menentukan dan menjadi tolok ukur sejauh mana masyarakat Indonesia ingin meneruskan proses reformasi atau tidak. Hal ini didasari oleh latar belakang dua kandidat yang bertarung, yang sangat bertolak belakang.

    Joko Widodo, menurut Prof. Hill, mewakili figur tokoh muda yang mengusung pembaruan dan sama sekali tidak memiliki kaitan dengan Soeharto dan Orde Baru. Sementara saingannya Prabowo Subianto memiliki pengalaman, reputasi dan juga hubungan keluarga yang sangat kental dengan ikon Orde Baru, mendiang Presiden Soeharto.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here