Iffah Nur Arifah
Setibanya di Jakarta, rombongan mahasiswa Australia ini langsung disuguhkan dengan maraknya spanduk dan poster kandidat presiden dan wakil presiden yang bertebaran di sepanjang jalan. Tidak itu saja, mereka mengaku sangat kagum dengan keragaman pendapat warga Indonesia mengenai pilpres 2014.
“Di Jakarta semua orang tampak sibuk apalagi sebentar lagi Pilpres, kami lihat spanduk dan poster capres dimana-mana, soal pilpres juga diberitakan di TV setiap hari, sangat menarik melihatnya,” kata Zacharias McCullogh, salah seorang mahasiswa.
Mereka umumnya mengaku baru pertama kali berkunjung ke Indonesia. Pengetahuan mereka mengenai politik nasional Indonesia juga sangat terbatas. Namun berada tepat di jantung ibukota ketika situasi politik memuncak menjelang pilpres 2014 membuat mereka langsung belajar banyak tentang pemilu di Indonesia.
Dkegiatan kunjungan ke Kantor Perwakilan ABC di Jakarta, para mahasiswa antusias bertanya seputar Pilpres 2014 kepada koresponden ABC Biro Jakarta.
Salah satu yang menarik perhatian para mahasiswa Australia ini adalah marak dan terang-terangannya kampanye hitam dalam pilpres di Indonesia kali ini.
“Kampanye hitam atau smear campaign bukan konsep asing, itu terjadi juga di Australia. Tapi khusus di Indonesia menjadi sangat menarik karena begitu terang-terangan dan dituangkan dalam beragam bentuk,” kata Gizem Nur Han.
“Apalagi masyarakat Indonesia tampaknya sangat percaya dan hal itu mempengaruhi penilaian mereka dalam memberikan dukungan kepada kandidat, bukan berdasarkan pada ukuran siapa yang lebih baik dan dapat membuat kemajuan,” tambahnya.
Sementara itu Zacharias Mccullogh mengaku pemilih Australia juga umumnya sangat bersikap individual mengenai pilihan.
Sangat disesalkan
“Patut dikhawatirkan kampanye hitam begitu agresif dan menyimpang dari kode etika media dan begitu kejam dalam memojokkan tokoh politik yang bertarung,” kata Prof. Hill.
Prof. Hill yang juga pengamat media mengatakan kampanye hitam ini sebagai gejala yang patut disesalkan. Sebab, jika cara ini terus diperkuat dan menjadi unsur kebiasaan dalam pemilu dan pilpres di masa depan, maka dampaknya akan sangat negatif terhadap dunia politik Indonesia.
“Jika unsur menjelek-jelekkan secara pribadi seperti ini diutamakan daripada berdebat mengenai ideologi politik, konsep dan kebijakan, maka yang akan dirugikan adalah masyarakat Indonesia dan kualitas pemimpin yang dihasilkan pada umumnya,” jelasnya.
Padahal menurut Prof. Hill, pilpres kali ini sangat menentukan dan menjadi tolok ukur sejauh mana masyarakat Indonesia ingin meneruskan proses reformasi atau tidak. Hal ini didasari oleh latar belakang dua kandidat yang bertarung, yang sangat bertolak belakang.
Joko Widodo, menurut Prof. Hill, mewakili figur tokoh muda yang mengusung pembaruan dan sama sekali tidak memiliki kaitan dengan Soeharto dan Orde Baru. Sementara saingannya Prabowo Subianto memiliki pengalaman, reputasi dan juga hubungan keluarga yang sangat kental dengan ikon Orde Baru, mendiang Presiden Soeharto.