DEPOK, KabarKampus – Sudah hampir setahun kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan penyair kondang, Sitok Srengenge terhadap RW, mahasiswi FIB UI dilaporkan ke Kepolisian Polda Metro Jaya. Namun hingga kini upaya yang telah dilakukan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Upaya penyelidikan yang dilakukan Divisi Keamanan Negara Reskrimum Kepolisian Metro Jaya seolah menemui jalan buntu.
Terkait dengan kasus RW dan Sitok Srengenge tersebut, Prof Topo Santoso, SH, MH, Phd, Guru Besar Fakultas Hukum UI mengatakan, dalam kasus RW, pasal yang dikenakan adalah pasal 285 KUHP. Bunyi pasal itu adalah, barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang bersetubuh di luar perkawinan.
Menurutnya seperti diketahui, bunyi dan pasal dalam UU ini kurang jelas dan tidak lengkap. Pasal 285 KUHP berasal dari zaman Belanda. Pasal ini sudah usang dan ketinggalan zaman dan tidak mampu lagi melindungi masyarakat.
“Di negara yang lain dan modern, pasal ini sudah ditinggalkan dan sudah ada definisi yang baru dan lebih luas. Sehingga sekarang banyak UU Pidana pemerkosaan tidak lagi menganggap pemerkosaan hanya dilakukan dengan bukti sperma dan organ tubuh laki-laki masuk ke organ tubuh perempuan atau ada unsur kekerasannya,” katanya.
Problemnya menurut Prof Topo, pasal 285 KUHP masih berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, definisi pemerkosaan dalam KUHP harus diubah, yakni, tanpa kehendak si korban. Bukan hanya adanya kekerasan.
Selain itu menurutnya, hakim dalam memutuskan perkara harus bisa menggali melihat kebutuhan masyarakat. Ketika pasal yang dibuat ratusan tahun dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat, maka hakim harus bisa memutuskan.
Ia menjelasan, hukum tidak bisa didekati secara logis, hukum adalah pengalaman. Hakim, harusnya melakukan pendekatan secara otonom, dia harus menggali kebutuhan hukum masyarakat.
“Ketika kebutuhan hukum masyarakat sudah tidak bisa dijamin oleh bunyi pasal KUHP, maka hakimlah yang harus menggali dan membentuk hukum,” tutur Prof Topo.
Dalam kasus ini menurut Prof Topo, hakim bisa memutuskan dari banyak tafsir seperi tafsir tdramatikal, sistematis, intensif dan dan sebagainya. Namun Prof Topo menyarankan hakim melakukan penafsiran sosiologis.
“Tafsir teolologis dan sosiologi yakni UU yang masih berlaku tapi sudah usang atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli pada waktu diundangkan dikenal atau tidak, maka peraturan perundangan tersebut harus bisa disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru,” kata Prof Topo.
Prof Topo berharap kasus RW ini bisa sampai ke pengadilan. Dengen demikian hakim memiliki peluang untuk melakukan berbagai penafsirakan. Hakim bisa membetuk hukum dari kasus ini dan kasus ini bisa dituntaskan dan korban bisa dilindungi.
Namun problemnya menurut Prof Topo adalah, apakah polisi akan membiarkan kasus ini dan berhenti di tengah jalan? “Saya mengharapkan kasus ini pihak kepolisian bisa membuka peluang ini,” ungkap Prof Topo.[]