YOGYAKARTA, KabarKampus – Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang mana presiden dan wakil presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Pilkda melalui DPRD ini juga tidak konsisten dengan sistem pemerintahan yang dianut.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Abdul Gaffar Karim, Dosen jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM dalam dikusi yang bertajuk ‘Pilkada Tidak Langsung, dari DPRD, oleh DPRD untuk Rakyat?’ di selasar Fisipol UGM, Selasa sore (30/09/2014).
Ia menilai UU pilkada yang disahkan lewat rapat paripurna DPR menurutnya bagian dari perubahan yang bersifat parsial, tidak secara menyeluruh. “Ibarat tambal sulam, harusnya mengganti sistem pemerintahan terlebih dahulu, sama saja mengganti sepatu tanpa melihat ukuran kakinya,” katanya.
Oleh karena itu, Gaffar mengusulkan Pilkada tidak langsung ditata ulang dengan mengevaluasi sistem pemerintahan secara menyeluruh. Selain menata kembali proses pemilihan kepada daerah, Gaffar juga menilai sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia tidak bisa diseragamkan, pasalnya setiap daerah memiliki tingkat kemajemukan yang berbeda bahkan asimetris.
Gaffar mencontohkan DIY dan DKI Jakarta. Gubernur DIY ditetapkan oleh DPRD. Sementara Walikota Bupati di DKI Jakarta ditunjuk langsung oleh Gubernur. “Masing-masing daerah di Indonesia memiliki karakter majemuk, tidak boleh ditata seragam, kita hormati keragaman itu dengan desain otonomi asimetris,” paparnya.
Gaffar dengan tegas menyampaikan dirinya tidak sependapat bahwa alasan disahkannya UU Pikada tidak langsung disebabkan maraknya praktik politik uang dan banyak kepala daerah yang tersangkut masalah korupsi. Menurutnya, seharusnya bukan sistemnya yang dihapus justru perilaku kepala daerah yang memang korup.
“Kalau KRL banyak copetnya, moso keretanya kita hilangkan. Jika ada 298 kepala daerah korupsi, itu juga pertanda karena KPK dan lembaga hukum sudah bekerja aktif,” tandasnya.[]