Penulis: Cahya Sukma Riyandi (Kader HMI Komisariat IT Telkom)
Korupsi, sebuah kata yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata korupsi sendiri didefinisikan sebagai “penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.
Artinya koruptor atau orang yang melakukan tindakan korupsi sudah sepantasnya didefinisikan sebagai “maling”, “rampok”, bahkan bisa disebut “bangsat”. Karena kata “bangsat” sendiri dalam KBBI didefinisikan “orang yg bertabiat jahat (terutama yg suka mencuri, mencopet, dsb)”. Begitulah gambaran betapa kejinya seseorang yang melakukan tindakan korupsi sehingga dapat disebut demikian. Korupsi benar-benar sudah menjadi sumber dari ketidakadilan, ketamakan, kemiskinan, kemunduran, serta hal-hal lainnya yang dapat membuat dunia jatuh dalam lubang kebodohan.
Disamping begitu mengerikannya korupsi sudah merusak tatanan masyarakat internasional. Prestasi koruptor di Indonesia pun tentu saja sangat lah membanggakan. Dalam situs transparency.org, Indonesia pada saat ini berada di posisi 107 dari 175 negara terkorup dengan indeks presepsi korupsi 34/100. Hal ini otomatis menempatkan Indonesia menjadi salah satu Negara terkorup se-Asia Pasifik, dan se-Asia Tenggara, Bravo!. Tentu saja sudah banyak pembahasan dan kajian mendalam terkait langkah-langkah untuk memberantas “maling-maling berkelas” ini. Dari mahasiswa hingga para professor, masih terus memberi masukan dan langkah-langkah konkret kepada KPK dan Polri untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Namun bagaimana bila lembaga yang menangkap maling tersebut ternyata juga sudah disusupi maling. Siapa lagi yang dapat kita percaya di Indonesia ini?
Pada tanggal 9 Desember, HAKI (Hari Anti Korupsi Internasional) setiap tahunnya terus diperingati di seluruh dunia dengan berbagai macam cara. Lembaga-lembaga independen, mahasiswa, hingga lembaga pemerintah yang notabene “sarang” dari para koruptor itu sendiri pun tidak ketinggalan melakukan ceremonial-ceremonial untuk memperingatinya. Tapi apakah diantara kalangan-kalangan tersebut benar-benar sudah memahami apa arti substansi dari seremonial yang mereka lakukan?
Mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan bersama dengan berbagai macam LSM, pemerintah serta partai-partai politik melakukan deklarasi anti korupsi dengan gagahnya dengan spanduk, serta panji-panji partai. Tapi mereka sudah lupa bahwa korupsi tidak dapat diberantas hanya dengan terikan-teriakan lantang, korupsi tidak dapat diberantas hanya dengan deklarasi-deklarasi kosong!
Korupsi harus dibumi hanguskan dari akarnya yang sudah menghujam sangat dalam di Tanah Air Indonesia! Dengan langkah konkret yang berjalan kontinu dan terus diwariskan.
Dengan begitu makna substansi dari Hari Anti Korupsi Internasional tersebut dapat sungguh-sungguh tersampaikan kepada masyarakat yang sudah mulai lupa atau pura-pura lupa. Semoga Indonesia akan terus diisi oleh para pemuda-pemuda yang terus menolak lupa betapa mengerikannya efek korupsi. Semoga Indonesia akan terus diisi oleh pemuda-pemuda yang sehat akan jasmani maupun rohani untuk terus menolak lupa hari penting ini. Semoga. Selamat Hari “Lupa” Anti Korupsi Internasional wahai Indonesia!
Hidup Rakyat! Hidup Rakyat! Hidup Rakyat!