Pada awal April lalu opini publik disuguhi dua peristiwa menggelikan. Pertama Presiden Jokowi menyalahkan Kementerian Keuangan atas lolosnya Perpres No. 39/2015 tentang tunjangan uang muka pembelian mobil pejabat. Kedua pidato Ketua Umum PDIP Megawati ketika Kongres IV PDIP di Bali yang menegaskan petugas partai harus tunduk kepada garis perjuangan partai. Sekilas tidak ada kejanggalan dengan dua peristiwa itu, namun kalau ditelisik lebih jauh sangat problematis.
Sistem pemerintahan presidensialisme menempatkan seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden memegang mandat rakyat melalui mekanisme Pemilihan Presiden langsung. Untuk menjalankan pemerintahan presiden mempunyai hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan menteri. Posisi menteri adalah pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden. Inilah sistem pemerintahan presidensialisme yang membedakannya dari parlementarisme.
Dalam parlementarisme seorang kepala pemerintahan atau perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Parlemen pun bisa mengajukan mosi tidak percaya dan membubarkan kabinet. Secara umum parlementarisme menurut politisi senior A. Rahman Tolleng disebut “supremasi legislatif”. Mengingat sistem pemerintahan parlementarisme meleburkan kekuasaan eksekutif dan legislatif (fusion of powers), sementara presidensialisme merupakan eksekutif tunggal terpisah dengan kekuasaan legislatif (separation of powers).
Pendasaran teoritis di atas menerangkan pernyataan Presiden Jokowi kurang memahami sistem pemerintahan presidensialisme. Kendati ia mengatakan tidak cukup waktu membaca draf Perpres, tentu bukan alasan melemparkan tanggung jawab kepada bawahannya. Presiden setiap saat dapat mengganti menteri (reshuffle) yang dinilai tidak kompeten, tetapi publik jangan diberi tontonan yang justru menunjukan presiden sendiri inkompeten. Presiden memiliki otoritas penuh memutuskan kebijakan sesuai prioritas program yang dicanangkan pemerintah. Karena itu, terasa aneh lolosnya Perpres No. 39/2015 Presiden Jokowi menyalahkan Kementrian Keuangan.
Memang sistem pemerintahan presidensialisme yang kita anut masih bernuansa parlementarisme. Pengangkatan menteri selalu mempertimbangkan representasi partai politik. Presiden lalu mudah terperangkap kepentingan koalisi partai politik di parlemen (DPR), dan presiden berani melawan kehendak DPR terancam Hak Angket. Padahal kewenangan Hak Angket DPR diatur oleh Undang Undang No. 6/1954 yang notabene sisa sistem pemerintahan parlementarisme di bawah UUD Sementara Tahun 1950.
Di titik ini, pidato Ketua Umum PDIP Megawati yang kemudian publik melihatnya ditujukan terhadap Presiden Jokowi problematis. Ungkapan petugas partai bernada peyoratif menjelaskan Megawati terkungkung logika parlementarisme. Megawati mungkin lupa pada diri seorang Jokowi sekarang melekat predikat kepala negara dan kepala pemerintahan, bukan semata-mata kader PDIP yang beruntung menjadi presiden.
Hal krusial lainnya terkait diktum Scott Mainwaring bahwa presidensialisme tidak kompatibel dengan multipartai. Negara yang menjalankan sistem pemerintahan presidensialisme murni laiknya hanya ada dua partai politik, yakni partai pemerintah dan partai oposisi. Konstelasi partai politik di DPR kini terbelah antara KIH dan KMP. Merujuk diktum Scott koalisi bipolar partai politik sebetulnya perkembangan baik. Kecurigaan berlebihan kepada KMP yang memosisikan sebagai oposisi-penyeimbang wujud ketakutan tanpa dasar.
Bahkan di tengah kemarahan para relawan fanatik Jokowi merespon pidato politik Megawati, desas-desus yang mengemuka Presiden Jokowi menyandarkan dukungan di DPR melirik KMP. Apabila konstelasi politik DPR benar berubah, kita bisa membayangkan anomali kekuasaan semakin absurd. KIH pengusung Jokowi-JK berhadapan dengan pemerintah, sebaliknya KMP pihak oposisi mendukung pemerintah.
Di tengah anomali kekuasaan itu, semestinya kita semua terpanggil mendesak pemerintahan Jokowi-JK mengembalikan etika publik pijakan utama, sebab yang mengkhawatirkan pemerintahan Jokowi-JK tetap bebal lebih mengedepankan oportunisme pada akhirnya rakyat mencari jalan keluar sendiri.
Apalagi merenungi pernyataan Lord Action, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Pernyataan cerdas ini memberi pelajaran berharga kita tidak boleh menanggalkan kritisisme. Siapapun yang berkuasa termasuk pemerintahan Jokowi-JK tanpa sikap kritis membuka peluang melenceng dari tujuan awal.[]
Penulis: Budiana Irmawan, Aktivis 98.