Mega Dwi Anggraeni
BANDUNG, KabarKampus – Aliansi JurnaIis Independen (AJI) menetapkan polisi sebagai musuh Kebebasan Pers 2015. Penetapan tersebut diberikan dalam rangka peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional yang digelar setiap tanggal 3 Mei.
Pernyataan sikap itu dilatarbelakangi oleh berbagai masalah yang melibatkan jurnalis dan aparat kepolisian. Mulai dari kasus Udin hingga penangkapan Ridwan Hardiansyah Sekretaris AJI Lampung.
Menurut Suwanjono, Ketua AJI Indonesia, pihak kepolisian pun tidak pernah memperlihatkan itikad baiknya untuk mengusut kasus kematian yang menimpa para jurnalis di Indonesia. Sampai hari ini, AJI mencatat sebanyak delapan kasus yang masih terlunta-lunta.
Ia menuturkan, sudan 18 tahun kasus kematian Muhammad Fuad Syarifusin (Udin), namun hingga saat ini polisi terkesan membiarkan kasusnya. Para petinggi polisi berulang kali memberikan janji mengusut kembali kasus wartawan Bernas tersebut, tetapi janji itu tidak pernah terealisasikan hingga saat ini.
“Selain kematian Udin, AJI mencatat masih ada tujuh kasus kematian lain yang sampai hari ini pelakunya tidak diusut oleh pihak kepolisian,” katanya.
Dia menyebutkan, para wartawan tersebut adalah Naimullah jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat; Agus Mulyawan jurnalis Asia Press; Muhammad Jamaludin jurnalis TVRI; Ersa Siregar jurnalis RCTI; Herliyanto jurnalis tabloid Delta Pos; Adriansyah Matra’is Wibisono jurnalis TV lokal Merauke; dan Alfred Mirulewan jurnalis tabloid Pelangi, Maluku.
Selain itu kata Jono, awal Maret 2015, pihak kepolisan kembali mengukir catatan buruknya. Tanpa adanya surat perintah penangangkapan, secara tiba-tiba pihak kepolisian menangkap dan menggeledah jurnalis Tribun Lampung, yang juga Sekretaris AJI Lampung, Ridwan Hardiansyah. Meski polisi mengaku salah orang, kejadian itu menumbuhkan trauma pada korban, hingga mengganggu tugas jurnalistiknya.
Padahal akhir 2014 lalu, AJI sudah memberikan catatan pada pihak kepolisian ketika lembaga penegak hukum itu menetapkan Pemimpin Redaksi The Jakarta Pos, Meidyatama Suryodiningrat sebagai tersangka, setelah menerbitkan karikatur yang kasus sebenarnya sudah ditangani oleh Dewan Pers. Sampai saat ini, status tersangka atas Meidyatama itu tidak pernah dicabut meski Dewan Pers sudah melayangkan surat bahwa kasus tersebut berada dalam ranah Undang-undang Pers.
Lebih lanjut, Jono menegaskan, secara khusus AJI Indonesia mencatat, sampai tahun 2015 kebebasan pers di Papua masih dikekang. Lembaga clearing house telah dipakai untuk membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Papua.
Setiap jurnalis asing yang berhasil mendapat akses liputan ke Papua pun tidak mendapat keleluasaan dalam menjalankan tugas publiknya. Mereka kerap dikuntit atau mendapat pengawalan setiap mengerjakan tugasnya. Bukan itu saja, para jurnalis lokal juga sering mendapatkan intimidasi, tidak sedikit pula yang akhirnya terbunuh.
Tidak hanya membatasi ruang kerja jurnalis, kini polisi juga membatasi ruang gerak warga negara dalam berekspresi. Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform, terdapat lebih dari 80 kasus kriminalisasi atas warga negara yang mengeluarkan pendapat atau ekspresi di dunia maya, sejak 2008 silam. Para korban kriminalisasi berdasarkan Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronika (ITE) ini datang dari berbagai latar belakang, seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, aktivis hingga seniman.[]