More

    Menyoal Kompetisi Liar Antar Lembaga Pendidikan

    Penulis: Ismail Amin, Mahasiswa Universitas Internasional al Mostafa Republik Islam Iran.

    Ismail Amin
    Ismail Amin

    Memasuki masa penerimaan mahasiswa baru, berbagai pihak larut dalam kesibukan yang luar biasa. Pengelola lembaga pendidikan sibuk mempromosikan lembaga mereka, mulai dari bentuk promosi yang paling purba dengan menempelkan pamflet, memasang spanduk, membagikan brosur hingga dalam bentuk yang paling canggih dengan memanfaatkan media cetak maupun elektronik. Calon mahasiswa baru beserta orangtuanya tidak kurang luar biasa sibuknya, kesana kemari mencari informasi mengenai lembaga pendidikan yang layak, berkualitas dan kalau bisa yang menjamin cerahnya masa depan, yang menjanjikan pekerjaan layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak.

    Adanya semacam kompetisi antar lembaga pendidikan ini disebabkan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan sehingga otomatis yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan siswa. Ini disebabkan sejak awal oleh luwesnya aturan yang ada dibirokrasi pendidikan. Aturan menyangkut tentang pendirian sebuah sekolah nampaknya begitu mudah dan leluasa. Kalau niat mendirikan sekolah untuk melepaskan negara ini dari persoalan kualitas pendidikan yang semakin menukik tajam tentu saja bukan persoalan bahkan membantu peran negara. Namun yang menjadi persoalan dalam banyak kejadian justru yang terjadi sebaliknya, bukannya bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata meraup untung. Mendirikan sekolah tidak ubahnya membuka biro travel, toko, ataupun super market yang mendatangkan profit. Buktinya, mengiklankan sekolah tidak jauh beda dengan model pengiklanan sebuah produk kosmetik. Kebanyakan lembaga pendidikan lebih disibukkan untuk mempermewah bangunan dengan fasilitas yang menakjubkan, tentu saja bukan dengan motivasi membenahi kualitas pendidikan tetapi untuk meraup laba, sebab sekolah semacam ini tentu saja dipersembahkan hanya untuk kalangan ekonomi mapan. Dengan fakta ini berarti lembaga pendidikan mirip produk kosmetik yang promosinya mengandalkan bentuk tubuh dan wajah.

    - Advertisement -

    Kalau pembaca tidak percaya, coba sempatkan diri untuk membaca brosur promosi sebuah sekolah. Meski selembar anda bisa mendapatkan segepok informasi yang menakjubkan. Mulai dari potret gedung sekolah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas; ruang kuliah ber-AC, perpustakaan lengkap, laboratorium komputer dan bahasa, kantin yang menyediakan banyak menu dan tidak hanya itu anda pun mendapatkan nama tenaga pengajar yang gelarnya berderet panjang. Yang menarik lagi, beberapa sekolah memamerkan aktivitas sekolah yang menghadirkan pejabat negara. Entah apa maksudnya? Setidaknya mungkin untuk menghadirkan pencitraan sekolah tersebut bukan sekolah sembarangan. Untung jika lembaga yang diiklankan itu benar adanya dan memiliki fasilitas sesuai dengan yang dijanjikan, tetapi bila hanya sekedar ’papan nama’ tentu yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Sudah cukup banyak bukti yang terkuak betapa tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bertanggungjawab di negeri ini. Ini baru kompetisi dari sisi memamerkan arsitektur bangunan, fasilitas dan tenaga pengajar yang diharapkan menjadi daya tarik  dalam bentuk brosur maupun pamflet, beragam metode kompetisi lagi lainnya, antara lain :

    Membuka kelas diberbagai daerah, ini biasanya berlaku dikalangan perguruan tinggi. Pembukaan kelas di daerah tingkat kabupaten menjadi upaya untuk menjaring para pegawai yang berburu gelar. Tentu dalam banyak hal kegiatan ini tidak bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata berorientasi finansial. Sebab biasanya yang ikut adalah pegawai yang ingin naik pangkat sehingga orientasinya sebatas menyandang gelar kesarjanaan. Dan tentu saja sesuai dengan namanya kelas jauh,  biayanya jauh lebih tingi dari biaya normal.Cara lain yang ditempuh adalah memperbanyak program diploma dan ekstensi. Diploma apa saja kini dibuka dengan harga yang saling bersaing, dan untuk menjaring peserta tak kurang fasilitas serta koneksi dengan beberapa instansi digunakan. Sedangkan untuk program ekstensi yang ditawarkan adalah kuliah akhir pekan bagi mahasiswa yang telah memiliki karir dan tentu saja karena mata kuliah yang dipadatkan maka ada beban biaya ekstra yang mesti ditanggung.

    Problem penggangguran di negara ini, menjadi sumber inspirasi bagi sejumlah perguruan tinggi. Adanya kerja sama dengan perusahaan bahkan dengan jaringan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri  menjadikan sebuah sekolah atau perguruan tinggi benar-benar menjadi tempat untuk mencetak tenaga kerja. Dan tentu saja adanya jaminan kerja menjadikan sekolah yang beginian menjadi laris karena membuktikan bagaimana para alumninya dipakai. Tetapi sadar atau tidak, misi pendidikan untuk memanusiakan manusia menjadi terabaikan yang terjadi justru menjadikan peserta didik sebagai sekrup mekanisme yang taat.

    Bentuk kompetisi yang lebih ’gila’ lagi adalah melakukan ’gerilya’ ke sejumlah sekolah terpencil dengan memberikan bujukan dan janji agar lulusannya bersekolah di tempatnya. Bujukan itu dilakukan dengan dua langkah, kirimi surat kemudian mendatangi sekolah, persis tenaga salesman yang mendagangkan perkakas dapur. Bentuk kedua dengan menjanjikan bebas pendaftaran bagi para pendaftar gelombang pertama atau iming-iming beasiswa separuh dan separuhnya lagi dibayar ataupun mengirimkan surat langsung ke alamat siswa dengan memberi kabar bahwa siswa tersebut telah diterima tanpa harus melalui seleksi penerimaan yang biasanya diawali dengan ujian test dan sebagainya. Dengan taktik licik semacam ini tentu saja bisa mengelabui siswa.

    Apa sebenarnya penyebab sekolah berkompetisi liar seperti ini? Tentu saja sebagaimana yang ditulis Eko Prasetyo dalam bukunya ”Orang Miskin Dilarang Sekolah”,  pertama aturan dibirokrasi pendidikan yang terlalu luwes dalam pendirian sebuah sekolah. Liberalisasi lembaga pendidikan berjalan tanpa kontrol sehingga menjadi persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Motivasi kedua, lembaga pendidikan mendapat intervensi dari kepentingan modal, sehingga sekolah dibangun semata-mata untuk meraup laba dan motivasi terakhir karena sekolah maupun perguruan tinggi kurang mendapatkan perhatian selayaknya dari pemerintah. Perhatian tidak layak ini bisa berupa anggaran pendidikan yang disediakan sangat kecil sehingga sekolah menjadi menarik untuk dijadikan mangsa ’pasar’ ekonomi yang buas.

    Kita tentu saja tidak begitu saja menggeneralisasikan, yang dibutuhkan hanyalah kejelian dan kehati-hatian. Agar mendapatkan lembaga yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka masyarakat perlu mencari informasi secara detail dengan misalnya, melihat kondisi kampus, dosennya, izin operasionalnya dan juga statusnya. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi besar terhadap pengembangan diri dan masa depan anak.

    Disamping itu hendaknya pengelola lembaga pendidikan tidak lagi mengobral janji terlalu muluk-muluk tanpa bukti hanya sekedar untuk merekrut mahasiswa baru atau lebih tragis lagi hanya untuk meraup keuntungan dari segi finansial. Bila realitas iklan pendidikan hanya sebatas obralan janji lewat iklan-iklan boombatisnya, tentu kita sulit membayangkan betapa tragisnya nasib masa depan bangsa ini nantinya. Karena bila lembaga yang kita nilai selama ini sebagai titik pusat produksi dan pengembangan moral dan kebudayaan tidak jujur lagi, siapa lagi yang akan kita percaya untuk membenahi bangsa ini?[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here