Tolikara, KabarKampus-Satu masjid dan puluhan kios di Tolikara, Papua dibakar saat umat Islam sedang melaksanakan sholat Ied pada hari Jumat, pukul 07.05 WITA, (17/07/2015). Terbakarnya rumah ibadah Islam ini dikhawatirkan memicu konflik yang lebih besar di Papua.
Sebelum peristiwa pembakaran dan intimidasi itu terjadi, pihak Gereja Injili di Indonesia (GIDI) melayangkan surat edaran larangan bagi umat Islam. Isinya (1) Tidak mengijinkan umat Islam merayakan lebaran di Tolikara, (2) Boleh merayakan di luar wilayah kabupaten Tolikara, (3) Melarang menggunakan hijab.
Surat larangan ini ditandatangani oleh pendeta Nayus Wenea (Ketua) dan pendeta Marthen Jingga (Sekretaris) GIDI Tolikara pada tanggal 11 Juli 2015.
Mencermati surat itu jelaslah larangan tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, namun larangan juga ditujukan kepada seluruh yayasan, jemaat lokal, klasis yang bersifat melibatkan banyak orang.
Secara tegas surat itu menyatakan, GIDI Tolikara selalu melarang agama lain dan gereja denomasi lain untuk mendirikan rumah ibadah. Salah satu rumah ibadah yang sudah ditutup adalah Gereja Advent di distrik Paido.
Surat edaran dikeluarkan pihak GIDI Tolikara karena pada tanggal 13-19 Juli 2015 berlangsung acara Seminar dan KKR Pemuda berkala internasional. Surat ditembuskan kepada Bupati Tolikara, DPRD Tolikara, Polres Tolikara, dan Danramil Tolikara.
Apakah isi surat larangan itu asli atau palsu?
Dari siaran pers dan informasi di media massa yang dikumpulkan KabarKampus terkait kerusuhan di Tolikara, tidak satu pun menyatakan surat edaran itu palsu. Sampai Sabtu malam, pihak GIDI Tolikara tidak mengeluarkan bantahan surat itu asli atau palsu.
Meski dikeluarkan jauh-jauh hari rupanya Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) yang menaungi GIDI Tolikara tidak mengetahui surat larangan tersebut.
“Kami tidak setuju dengan isi surat dan sama sekali tidak mewakili PGLII dan umat Kristen Indonesia,” kata Ronny Mandang, Ketua Umum PGLII, saat konferensi pers di gedung Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta Pusat, Sabtu (18/07/2015).
“Saya telah menasihati umat saya agar tidak melarang umat apapun, termasuk saudara Muslim untuk melangsungkan ibadah. Namun, ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah tersebut, dan juga mematuhi surat yang dikeluarkan demi keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Ronny Mandang yang dilansir CNN Indonesia.
Sementara Albertus Patty, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), pada Jumat malam (17/07/2015), berpendapat kerusuhan di Tolikara merupakan akumulasi dari berbagai persoalan di masyarakat diantaranya sosio-ekonomi.
“Ada faktor ketegangan penduduk lokal dan pendatang, kemudian konflik elite yang memasuki ranah keagamaan,” ujar Albertus Patty seperti dilansir Republika Online.
Dengan demikian, Bara di Tolikara yang terjadi di saat umat Islam melaksanakan sholat Ied, tidak lantas kita vonis sebagai bentuk kebencian umat Gidi Tolikara kepada umat Islam di Tolikara. Bukan pula seperti yang diungkapkan oleh Jusuf Kalla, bahwa tragedi kemanusiaan di Tolikara gegara toa masjid.
Tentu pernyataan Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI itu keblinger dan tolol melihat persoalan utama masyarakat Papua.
Ada faktor dan dalang utama yang kini tengah diselidiki pihak keamanan. Kita berharap, semuanya terungkap sehingga tragedi ini tidak terulang kembali.[]