ENCEP SUKONTRA
Singing Bowl, alat musik spiritual dari Tibet, mengalun mengiringi bunyi getaran panjang atau frekuensi. Alunan Singing Bowl kadang naik turun hingga sayup-sayup. Bunyi tersebut berlangsung hampir 15 menit.
Demikian salah satu bunyi MP3 musik terapi buatan Dedy Ardian Banjar, seniman musik jebolan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung (kini Insitut Seni Budaya Indonesia) yang sudah setahun menekuni musik terapi bagi anak berkebutuhan khusus. Saat ini musiknya dipakai untuk terapi intens pada dua anak difabel, seorang anak autis dan seorang lagi tuna grahita. Keduanya merupakan siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Bina Kasih.
Sudah enam bulan mereka menjalani terapi musik. Anak yang autis memiliki karakter mudah marah, susah diarahkan dan sering ngamuk. Sementara anak yang tuna grahita karakternya sulit terkendali.
“Anak yang autis dan grahita sudah ada perubahan, sudah bisa patuh tidak ngamuk-ngamuk lagi,” tutur Dedy Ardian, saat berbincang dengan KabarKampus di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, baru-baru ini.
Sejak enam tahun lalu Dedy Ardian menekuni musik hypnotherapy selain aktif mengiringi acara-acara teater dan tarian sebagaimana yang sering digelar komunitasnya, Kelompok Anak Rakyat (LOKRA) dan Art Spiritual. Salah satu aransemennya dipakai mengiringi Monolog Soekarno-Inggit oleh LOKRA.
Deddy yang kini ngajar di SLB Bina Kasih, Bandung, menuturkan diluar anak yang dua tadi ia juga mempraktekkan musik terapinya pada anak-anak berkebutuhan khusus di kelasnya. Meski belum diketahui secara pasti dampak dari metode belajar menggunakan musik terapi di kelas, tetapi ia sudah merasakan adanya perubahan-perubahan positif.
Misalnya anak-anak yang tadinya sulit konsentrasi, mulai bisa mengikuti pelajaran. Perkembangan ini kemudian dicatatnya di Penelitian Tindakan Kelas (PTK), penelitian yang harus dilakukan guru SLB.
Ia mengungkapkan, musik terapi yang dibuatnya untuk anak berkebutuhan khusus terdiri dari beberapa jenis, dibuat sesuai dengan kebutuhan anak. Musik terapi untuk anak autis berbeda dengan musik terapi bagi anak tuna grahita.
Irama pada musik terapi anak autis lebih monoton dan slow, meski ada ketegangan yang tercipta lewat getaran-getaran yang panjang. Berbeda dengan musik terapi tuna grahita yang mirip-mirip musik instrumental Kitaro, ada bunyi gemericik air diiringi bunyi mirip keyboard.
Pria kelahiran Medan, 21 Oktober 1985 ini menjelaskan, musiknya disusun dengan midi controler, sebuah alat musik yang biasa dipakai mengiringi film atau teater. Ia sudah menyiapkan musiknya dalam format MP3 untuk dibagikan gratis kepada orang tua yang membutuhkan.
Musik terapinya sangat dianjurkan dipakai saat anak sedang tidur. Sebab efek musik akan makin mengena ketika seseorang berada di alam bawah sadar. Kesimpulan tersebut telah dibuktikan secara ilmiah.
Tubuh manusia terdiri dari atom-atom yang bekerja secara otomatis merespons setiap frekuensi atau getar. Begitu juga sistem saraf otak manusia yang terdiri dari sekumpulan atom yang saling terhubung. Jaringan saraf memiliki ribuan cabang disebut tentacle. Adapun fungsi tentacle memunculkan beragam mood pada manusia, seperti rasa malas, malu, percaya diri, berani dan lainnya.
Pria yang sejak 2010 menjadi Music Director Hypnotherapy, dalam studi literaturnya menemukan bahwa getaran atau frekuensi yang ditimbulkan alat musik memang berpengaruh terhadap tentacle.
Dengan kata lain, frekuensi yang muncul dari alat musik tersebut bisa memberikan stimulus tentacle.
“Musik terapi akan merangsang tentacle membentuk molekul yang kemudian memerintahkan saraf di otak agar menghasilkan tindakan positif, misalnya meningkatkan rasa percaya diri dan seterusnya,” jelas pria kelahiran Medan berdarah Dayak.
Itu sebabnya musik tertentu, misalnya musik klasik, sudah lama dianggap bisa memengaruhi kecerdasan anak. Contohnya musik-musik Mozart sering kali dipakai alat terapi ibu hamil, dengan asumsi bahwa jabang bayi sudah bisa merespons musik meski masih dalam kandungan.
Namun, ada ukuran atau perhitungan tertentu agar tentacle otak bisa merespons frekuensi dari musik terapi. Ukuran yang tepat akan menghasilkan rangsangan yang positif bagi otak. Misalnya bunyi gamelan dengan nada E (mi) harus distel dengan ukuran yang tepat agar nada E tersebut mampu merangsang tentacle. Jika getaran atau frekuensinya baik, maka akan diterima baik pula oleh tentacle.
“Kita dan alat musik jadi satu frekuensi, itu yang bagus,” jelas pria dengan nama dayak Kahanuang.
Putra dari pasangan Amran Achmad Banjar-Nuraini ini menambahkan, kerja musik terapi akan lebih efektif jika beroperasi saat orang yang diterapinya sedang tertidur atau berada di alam bawah sadar. Praktek ini sebenarnya sudah dilakukan para orang tua sejak dulu.
“Orang tua dulu kalau mau nidurin anak kan suka sambil nyanyi-nyanyi, artinya getaran suara orang tua akan rangsang alam bawah sadar anaknya,” tuturnya.
Perkenalan Dedy Ardian dengan musik tidak lepas dari pendidikan. Sejak SMA ia mengambil jurusan musik. Pernah pula kuliah etnomusikologi di sebuah kampus di Medan, meski tidak tamat, kemudian melanjutkan ke Jurusan Karawitan di ISBI Bandung hingga tamat 2010.
Bersama Indobarin Aceh melancarkan musik terapinya untuk anak-anak di Aceh, Medan, NTB, Bandung kepada anak pada tahun 2010. Ia juga memprakrekkan musik terapinya pada acara Doa dan Dzikir bagi para TKI di Nam Cheong, Hongkong. []
Segera dipatenkan oleh Hak Cipta nih Bang..
Secara kan negara kita ini negara “latah” tapi “latah”-nya ini keterlaluan sehingga cenderung rasa memilikinya tinggi hahahaha
hahahaha…..selagi otak kita bisa berfikir kreatif jangan takut hihihi