YOGYAKARTA, KabarKampus – Bab khusus mengenai tindak pidana terhadap agama atau yang disebut dengan delik agama perlu dimasukkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini karena dapat memberi perlindungan bagi agama dalam hukum pidana.
“Jika delik agama terkait penodaan terhadap agama tidak dimasukkan dalam KUHP, akan mengganggu toleransi antar umat beragama,” ungkap Dr. Trisno Raharjo, M.Hum., saat menjadi salah satu pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) di Ruang Sidang Direktur Gedung Pascasarjana Lantai 1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa, (15/11/2016).
Trisno mengatakan, saat ini hukum di Indonesia dalam KUHP belum memiliki delik agama. Meskipun Indonesia bukan sebagai Negara yang berdasarkan sesuatu agama, namun agama bukan merupakan suatu hal yang dapat dipisahkan atau diabaikan dalam hubungan dengan masalah kenegaraan. Oleh karena itu perlu adanya ketentuan tindak pidana secara menyeluruh terhadap kepentingan agama (delik agama) dalam KUHP.
“Dalam hukum di Indonesia terkait pengaturan dalam KUHP, pengertian delik agama yang pertama (delik agama menurut agama) telah banyak diatur dalam KUHP, seperti pembunuhan, penganiayaan, pencurian, dan lain-lain. Sementara untuk delik agama kedua yang diatur dalam Pasal 156 a yaitu terkait penodaan terhadap agama belum disahkan kembali pada masa Susilo Bambang Yudoyono pada akhir tahun 2011 (sebelumnya telah disahkan pada tahun 1965)” ungkap Trisno dalam FGD yang diselenggarakan oleh Program Doktor S3 Psikologi Pendidikan Islam yang bertemakan Relasi Antar Umat Beragama di Indonesia ini.
Trisno menyampaikan, pada Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963 yang lalu telah menyatakan atas perlunya delik-delik agama. Karena delik agama saling berkaitan dengan delik susila. Dalam kajian bidang hukum pidana, delik agama berkaitan pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta pada pasal 29 UUD 1945.
“Jika delik agama disahkan kembali, akan memberikan perlindungan bagi agama dalam hukum pidana,” ujarnya Dosen Hukum Pidana UMY ini.
Dalam diskusi tersebut, Trisno juga memberi contoh perbandingan penegakan hukum pidana di berbagai Negara yang dilakukan secara lisan maupun perbuatan. Ia mengatakan, pada tahun 2006 lalu seorang aktivis politik Jeran Manfred van H, dipidana percobaan satu tahun penjara, dan hukuman kerja sosial 300 jam karena menyebarkan tisu toilet yang dicetak ayat-ayat Al Qur’an lalu dibagikan ke masjid-masjid.
Selain itu di Pakistan, seorang guru bernama Muhammad Younas Seikh di depan kelas menjelaskan bahwa sebelum Nabi Muhammad menerima wahyu Al Qur’an ,beliau belum masuk Islam. Penodaan agama secara lisan tersebut membuat Younas dipidana mati.
Menurut Direktur Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum (FH) UMY ini, meski nantinya apabila delik agama disahkan kembali dikhawatirkan akan banyak laporan-laporan terkait penodaan agama. Karena itu, dalam kasus penodaan agama, harus ditekankan jika pelaku sengaja mengucapkan penistaan disertai dengan pembuktian.
Pada konfensi-konfensi Internasional sebenarnya juga seringkali dibahas mengenai perumusan pasal-pasal terkait pembelaan terhadap agama, penistaan terhadap nama Allah, Rasulullah, namun telah banyak direduksi (dikurangi). Sepertinya hukum di Indonesia telah mengikutinya, seperti pasal yang tadinya ada sekarang menjadi hilang.
“Mungkin pasal-pasal terkait penodaan agama yang saat ini banyak direduksi tersebut merujuk pada kasus di Pakistan yang banyak menghukum mati para terdakwanya akibat dari kasus penodaan agama,” tutup Trisno.[]