AUSTRALIA PLUS
Joni Adiansyah
Diawali dari semangat berbagi untuk anak-anak Indonesia melalui program Beasiswa CIMSA (Curtin Indonesian Muslim Student Association), dua puluh orang mahasiswa dengan latar belakang yang beragam menuliskan kisahnya dari tepian Swan River di Australia Barat.
Perjalanan menempuh studi selalu memberikan satu ruang memori tersendiri di dalam benak setiap manusia yang melakoninya, apalagi jika kesempatan tersebut terjadi di luar negeri.
Kisah-kisah inilah yang coba ditulis dan dihimpun oleh dua puluh mahasiswa Curtin University di Australia Barat dibawah naungan CIMSA.
Niatan untuk membuat sebuah buku tercetus setahun yang lalu, niatan yang muncul dari dorongan kuat untuk memberikan kontribusi nyata terhadap Indonesia melalui penyaluran beasiswa yang telah lebih dari tiga tahun dijalankan oleh CIMSA.
Pada akhirnya terbitlah ‘Pelangi dari Selatan: kisah anak bangsa di rantau’ dan dibedah secara langsung oleh para penulis bersamaan dengan peringan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016 di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Perth.
Kegiatan yang dibuka oleh Konjen Ade Padmo Sarwono yang diawali dengan upacara bendera dalam rangka peringatan hari Sumpah Pemuda.
Dalam kata sambutannya Ade Sarwono memberikan apresiasi yang tinggi untuk terbitnya buku Pelangi dari Selatan dan mengatakan bahwa ‘buku ini sarat dengan nilai-nilai empirik yang bersumber dari pengalaman dan kisah nyata dengan berbagai suka duka dalam perjalanan menempuh studi di Perth’.
Bedah buku menampilkan beberapa penulis antara lain Kristian Agung, Joni Safaat Adiansyah, Nurmaliah, dan Endah Yanuarti yang mewakili tiga tema besar di dalam buku Pelangi dari Selatan yaitu Mengejar Mimpi, Dunia Baru, dan Kilau Perth.
Bagian pertama ‘Mengejar Mimpi’ menampilkan kisah-kisah tentang lika-liku perjalanan menggapai cita-cita agar bisa bersekolah ke luar negeri melalui jalur beasiswa.
Bagaimana perjuangan seorang anak guru dari Ngepeh sebuah daerah di Madiun yang menampilkan kegigihan seorang Kristian Agung dalam mendapatkan beasiswa Australian Awards.
Tiga mantra ampuh “Man Jadda Wajada, Man Sabara Zafira, dan Man Saara Ala Darbi Washala” menjadi ‘pegangan’ dari Endah Yanuarti sehingga mendapatkan beasiswa prestisius Endeavour dan jalan memutar yang diceritakan Riki Ahmadi membuat kita tersadar bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita mau tetap berusaha.
Perjuangan menguras pikiran dan perasaan dari seorang anak Sopeng (Aso) yang akhirnya berhasil menginjakkan kaki di bagian selatan benua Australia setalah melalui 10 kali tes IELTS diceritakan oleh Asri Samsu.
Pejuang lainnya adalah Sri Martini melalui cerita ‘Mandiri di Negeri Orang’ dan Tubagus Solihuddin yang membungkus perjuangannya mendapatkan beasiswa melalui inspirasi dari film ‘Sang Pemimpi’.
‘Dunia baru’ yang merupakan bagian kedua menampilkan cerita tentang tempat, orang-orang baru dengan pola interaksi, sudut pandang, dan budaya yang berbeda corak.
Bagian ini diawali dengan ‘surat dari Perth’ yang ditulis oleh Agung Subiantoro menceritakan sekelumit kisah hidup selama di Perth mulai dari bagaimana perasaan groginya saat pertama kali harus beriteraksi dengan seekor anjing yang mengajaknya bermain hingga rasa senangnya saat menemukan jengkol dijual disalah satu toko langganannya.
Dilanjut dengan kisah Nurmaliah yang memilih tinggal di akomodasi dalam kampus (Guild House) dan interaksinya dengan mahasiswa lain dari berbagai negara yang dituangkan ke dalam ‘200 keluarga baru’.
Hal yang sama dituliskan oleh Muhammad Ikrar Lagowa tentang kehidupannya di Kalgoorlie sebuah kota pertambangan melalui ‘Menambang ilmu di Kalgoorlie’.
Percakapan antara mahasiswa dan pembibing, dan antara sesama mahasiswa yang bebeda keyakinan dan kewarganegaraan menjadi latar belakang tulisan Joni Safaat Adiansyah di ‘Melihat sisi dunia dari kursi pantry’.
Kemudian dilanjut dengan tulisan Moch Abdul Kobir (‘Naik haji dan melancong ke 10 negeri) yang bercerita tentang kesempatannya bersekolah keluar negeri telah membawanya berhasil melancong ke banyak negara.
Melalui cerita ‘Allah selalu punya cara terbaik menyayangi kita’ Sri Kadarwati menuangkan kisah persahabatannya dengan Ahmad yang berasal dari timur tengah penganut paham Syiah.
Jika ingin melihat wajah wisata Australia Barat maka tulisan Akhdian Reppawali (‘Everything happens for a reason) bisa sedikit memberikan gambaran tersebut.
Tulisan ala pujangga yang berisi percakapan dua orang sahabat tentang Indonesia dan berlatar belakang kota wisata Fremantle menjadi sajian dari Reananda Hidayat Permono melalui ‘Ironi Indonesia di Fremantle’.
Bagian ini ditutup oleh dua penggalan pengalaman hidup dari seorang Achmad Room Fitrianto baik saat berorganisasi, belajar termasuk pengalaman spiritualnya (‘Belajar di Perth: suatu pengalaman spiritual’).
Bagian ketiga atau bagian terakhir bertema ‘kilau Perth’ diawali dengan cerita pengalaman Fitri Zakiah (‘Rainbow Perth’) mulai dari kehidupan di akomodasi kampus, menggunakan transportasi umum hingga tugasnya sebagai kasir di salah satu restoran Indonesia di Perth.
Pengalaman hidup di Perth juga dicerita oleh Faranita tentang mudahnya menemukan masjid melalui ‘Finding mosques in Perth is (not) a mission impossible’ dan diikuti dengan pengalaman seorang dosen dari Gorontalo (Abid Halim) saat harus memilih produk ‘homebrand’ yang murah atau produk non-homebrand yang lebih mahal.
Seorang guru SMA dari tanah Papua Saleha Salsabilah juga menuangkan cerita menariknya (‘Saya dan Curtin volunteers’) saat menjadi seorang sukarelawan di sebuah sekolah dan berinteraksi dengan penduduk lokal Australia.
Kisah terakhir ditutup dengan pengalaman Gorga Parlaungan akan pentingnya sebuah ‘bargaining power’ melalui cerita ‘Kisah dua mushalla dan daya tawar’. []
*Joni Safaat Adiansyah, Mahasiswa PhD di bidang Sustainable Engineering, Curtin University, salah satu kontributor buku Pelangi dari Selatan, Presiden CIMSA 2015-2016.